Konstruksi Wacana Disrupsi

    Tema mengenai disrupsi inovasi akhir akhir ini mendapatkan perhatian banyak kalangan. Laporan yang diterbitkan Ernst & Young Global Limited berjudul The Upside of Disruption Megatrends Shaping 2016 menunjukkan bahwa jumlah artikel media massa dengan tema disrupsi inovasi berjumlah 378 di tahun 2010, naik hingga 2075 di tahun 2015 atau meningkat sebesar 440%. Melalui google trends dengan kata kunci “disrupsi adalah..” menunjukkan kenaikan perhatian publik Indonesia yang fantastis sebesar 2835%, dari 48 pencarian di tahun 2013 menjadi 1357 di awal Agustus ini.


    Ketika banyak publik kita belum memahami sepenuhnya mengenai istilah disrupsi, wacana ini meluas melalui berbagai media dari latar belakang bisnis ke alam kajian yang lain. Jamie Bartlett misalnya, Direktur Pusat Analisis Media Sosial dari The University of Sussex dalam tayangan “The Persuasion Machine” di BBC2 TV akhir Juli lalu menyatakan “Social media could bring politics closer to the people but its disruptive power creating a new and unpredictable world”. Berangkat dari hal tersebut tulisan ini ingin mengkaji wacana disrupsi dari sisi konsep, definisi serta bias makna dalam perkembangannya akhir ‐ akhir ini.


Konsep awal


    Istilah disrupsi muncul ke permukaan melalui artikel majalah Harvard Business Review (HBR) edisi Januari‐Februari tahun 1995 berjudul “Disruptive Technologies : Catching The Wave” yang ditulis dua Profesor Harvard bernama Clayton M. Christensen dan Joseph L. Bower. Latar belakang tulisan ini adalah pertanyaan penulis tentang mengapa perusahaan terkemuka, dengan manajemen yang dikelola secara professional, dan sedang berada di posisi puncaknya (incumbent) justru tumbang ketika teknologi dan pasar mengalami perubahan. Radio tabung anoda versus radio transistor, komputer mainframe IBM versus minicomputer, minicomputer versus personal computer Apple dan seterusnya.


    Analisa awal mengenai fenomena ini adalah bahwa perusahaan incumbent tersebut acuh atau bahkan melawan ketika muncul inovasi produk baru dengan karakter, sifat dan cara penggunaan yang berbeda dari produk yang telah umum dikenal masyarakat luas. Ada keengganan dari perusahaan – perusahaan tersebut untuk berinvestasi kepada jenis produk baru ini karena pada awalnya belum banyak diminati, pangsa pasarnya masih terlalu kecil sehingga tidak memberikan kontribusi laba yang signifikan. Singkatnya, melakukan investasi untuk produk – produk ini dianggap berresiko tinggi karena susah diprediksi secara jangka panjang.


    Menurut Clayton, strategi inovasi perusahaan incumbent lebih fokus kepada produk yang telah laku di pasaran dan dikenal konsumen secara luas. Clayton memberi istilah “sustaining technology” untuk pengembangan produk semacam ini. Cirinya walaupun terdapat inovasi, namun pada prinsipnya masih memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan versi sebelumnya.


    Di sisi lain, terdapat inovasi dari perusahaan pendatang baru (entrants) yang melahirkan produk dengan karakter, sifat dan cara – cara penggunaan yang sama sekali berbeda dengan produk incumbent. Anehnya, produk mereka ini awalnya tidak lebih baik dari milik incumbent. Sehingga lazimnya konsumen kebanyakan pada mulanya enggan mengadopsi. Tetapi produk tersebut sebenarnya memiliki karakter yang menarik minat segmen kelompok minor. Lama kelamaan konsumen incumbent secara luas sadar atas keunggulan produk entrants ini, lalu mulai mengadopsinya dan akhirnya produk incumbent terus tergerus hingga akhirnya tergantikan. Produk inovatif yang menembus pasar dengan proses seperti inilah yang dimasukkan Clayton ke dalam kelompok “disruptive technology”.


    Inovasi transistor misalnya di tahun ‘40–‘50an memungkinkan perusahaan seperti Sony menciptakan radio dengan karakter yang sama sekali berbeda dengan radio tabung anoda yang marak sebelumnya. Walaupun dari segi suara, radio transistor memiliki kualitas yang lebih rendah, tetapi karakter radio ini lebih kecil, lebih ringan dan mudah dibawa ke mana ‐ mana. Waktu kemudian membuktikan bahwa radio transistor justru akhirnya merajai pasar dan menggantikan dominasi radio tabung anoda.


Dilema Manajerial


    Konsep mengenai disruptive technology dikembangkan lebih lanjut oleh Clayton dalam buku berjudul “The Innovator’s Dilemma : When Technologies Cause Great Firms to Fail” di tahun 1997. Strategi inovasi Sustaining, seringkali melahirkan produk akhir yang terlalu canggih, terlalu mahal dan terlalu kompleks. Di sisi lain produk – produk yang dianggap disruptive lebih murah, lebih sederhana, lebih kecil dan lebih mudah digunakan walau dengan catatan memiliki performa yang lebih buruk.


    Agar tidak terdisrupsi, strategi yang seharusnya dilakukan incumbent menurut Clayton adalah justru keluar dari praktik kewajaran manajerial yang sebelumnya dilakukan, yaitu dengan tidak mendengarkan suara konsumen kebanyakan dan berani melakukan investasi pada produk ‐ produk yang inovatif, walaupun belum memiliki performa menonjol dan dengan ceruk pasar yang masih kecil. “There are times at which it is right not to listen to consumers, right to invest in developing lower‐performance products that promise lower margins, and right to aggressively pursue small, rather than substantial, markets”. (Christensen, 1997;10).


Disrupsi Adalah..


    Saat ini, lebih dari 20 tahun setelah konsep ini digaungkan, media sosial dan internet menjadi basis aktivitas banyak kalangan setiap harinya, konsep disrupsi dianggap relevan untuk menganalisa berbagai jenis inovasi yang baru. Uber misalnya di dunia transportasi, Netflix, Huffington Post dan Buzzfeed di dunia media dan komunikasi, hingga Data mining dan profiling pemilih untuk kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat. Namun banyak dari penerapan konsep disrupsi tersebut dikeluhkan Clayton karena dianggap terlalu longgar, sehingga maknanya menjadi bias. Kelonggaran ini juga ditengarai Clayton menjadi penyebab konsep disrupsi gagal melahirkan solusi, karena diterapkan dalam konteks inovasi dan kompetisi yang tidak sesuai, karena pada prinsipnya dibutuhkan pendekatan strategis yang berbeda untuk tipe inovasi yang tidak serupa (Christensen, 2015).


    Karena alasan tersebut, Clayton menggali kembali apa yang dimaksud sebagai disrupsi dalam artikel “What is Disruption” di majalah HBR Desember 2015. Yang dimaksud disrupsi menurut Clayton adalah suatu proses, ketika sebuah perusahaan baru (entrans), dengan sumber daya yang lebih sedikit mampu menumbangkan dominasi perusahaan incumbent yang memiliki produk unggul dan mapan di pasaran. Situasi tersebut terjadi ketika perusahaan incumbent lebih memilih melakukan inovasi dan perbaikan kualitas terhadap produk yang paling laku dijual dan umumnya memberikan keuntungan paling banyak. Padahal, ketika perusahaan tersebut memprioritaskan segmen konsumen mayoritas, mereka mengacuhkan kebutuhan segmen lain yang minor.


    Walau tidak diperhitungkan, perusahaan entrans ternyata mampu memberikan produk yang dibutuhkan kelompok minor tadi dengan produk yang lebih fungsional dan dengan harga yang lebih murah. Pada saat produk entrants akhirnya diadopsi mayoritas pasar, incumbent tidak menyadari bahwa saat itu telah terjadi proses disrupsi.


    Konsep disrupsi Clayton ini mengalami tantangan terutama pada analisa terhadap Taxi Uber. Hal tersebut muncul karena Clayton memberi dua kriteria agar suatu inovasi dianggap disruptive, yaitu low‐end upholds dan new‐market upholds. Karena dua kriteria tersebut, Uber dalam pandangan Clayton bukan termasuk disrupsi karena tidak bermain di pasar yang baru (new‐market) dan juga memiliki tarif yang tidak murah (high‐end).


    Analisa tersebut mendapat sanggahan dari Jean‐Marie Dru, Chairman biro iklan TBWA, Presiden UNICEF Perancis, sekaligus penemu disruptive methodology di majalah On Marketing 17 Desember 2015 dengan artikel berjudul “A Counterargument To Clayton Christensen's Definition Of True Disruption”. Menurut Dru, definisi disrupsi Clayton terlalu sempit, akan lebih baik menurutnya jika konsep ini dilacak dari permulaannya, salah satunya secara etimologis. Menurut Dru istilah disrupsi berasal dari bahasa latin “disrumpere” yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris sebagai “breaking from”. Dalam pandangan Dru makna disrupsi lebih luas, yaitu segala sesuatu yang tidak berubah secara bertahap.


    Selain itu, Dru menepis pendapat bahwa disrupsi selalu destruktif. Bahwa seolah ‐ olah hanya ada dua perubahan yang lahir dari setiap inovasi, yaitu perubahan secara incremental atau bertahap dan perubahan secara drastis‐revolusioner karena disruptive innovations. Padahal kenyataannya, incumbent sering melakukan strategi jalan tengah, yaitu mengadopsi disruptive innovation pada produk incumbent sehingga tidak semerta merta menghancurkan pasar yang telah ada.


Bias Disrupsi


    Selain penyempitan, konsep disrupsi yang sering muncul kini memiliki makna yang berbeda dari konsep awal Clayton. Salah satu alasannya adalah bahwa istilah “disruptive” telah lumrah dipakai sebagai bahasa pergaulan dan komunikasi sehari ‐ hari. Hal tersebut dikaji Kev Cooke seorang Managing Editor pada majalah  DISRUPTION  yang  juga  menggagas Disruption Summit bertempat di London, 5 September 2017.


    Cooke memberi istilah disrupsi klasik untuk konsep Clayton dan disrupsi kolokial sebagai bahasa pergaulan. Disrupsi kolokial, maknanya adalah, ketika suatu peristiwa, sistem atau proses yang terganggu dan terhambat untuk dapat berlanjut atau beroperasi dengan cara yang sebelumnya dilakukan (Cooke, 2016).


    Definisi ini berguna saat seseorang mengatakan bahwa bisnisnya, keadaannya, perusahaannya atau organisasi mereka terdisrupsi, yang sebenarnya merujuk kepada terganggunya proses, karena adanya hal baru, yang membuat mereka tidak bisa berjalan seperti biasanya.


    Seperti halnya pendapat Dru, dalam pengertian kolokial, maka Uber masuk dalam kategori disrupsi karena secara drastis merubah cara, proses yang lama dengan sesuatu yang sama sekali baru sehingga incumbent merasa terganggu dan terhambat perkembangannya. Sebagai akibat semakin cairnya pengertian ini, semakin banyak kajian disrupsi diterapkan dalam bidang yang lain.


Strategi Kajian Disrupsi


    Agaknya sering terjadi, ketika suatu wacana menjadi populer maknanya terus berkembang menjadi lebih luas. Mengambil pendapat Cooke, tidak tidak ada salahnya ketika dalam kajian popular maupun ilmiah, istilah disrupsi yang digunakan berbeda dari konteks Clayton. Asal, dengan catatan pengkaji mengerti konsep disrupsi Clayton sebelumnya. Dengan demikian pengetahuan yang didapat akan lebih menyeluruh dan diharapkan lebih stratejik dalam penerapannya.


    Terakhir, rasanya dengan mengerti konsep disrupsi saja tidak cukup untuk menghadapi berbagai macam tantangan di masa yang akan datang. Diperlukan strategi dan kemampuan manajerial yang baik agar mampu berdiri tegak menghadapi setiap perubahan.



Penulis: Oki Edi Purwoko

Dosen Manajemen Media, Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto. Pernah bekerja sebagai Master Data Manager pada Project Big Data, Segmentasi dan Customer profiling di perusahaan swasta multinasional.


Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post