Selokan dan Iblis-Iblis Selangkangan

Dok. Freepik


Universitas menjadi tempat dimana ilmu pengetahuan tumbuh subur. Ilmu bukan sebatas sejauh apa hafalan teori yang dimiliki, namun juga sebaik apa terpolesnya akal budi. Sebagai Kawah Candradimuka, sudah sepatutnya tidak dinodai kecing-kecing iblis. Begitulah seharusnya kita memulai Kampus sebagai garis awal dalam mempraktikan amar ma`ruf nahi munkar. Begitupun dalam merespon isu-isu kekerasan seksual, yang entah ada atau tidak, sifatnya harus ditiadakan. Sebab yang mengadakan adalah tidak lebih dari iblis tadi. 


Sebelum lebih lanjut, tulisan ini berdasar pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Di dalamnya memuat berbagai rujukan untuk pencegahan dan penanganan yang dengan budaya akademik Kampus harusnya sudah memahami dan mempratikannya, walaupun di lapangan belum sepenuhnya demikian. 


“Dia ngga ngerasain rasanya nahan sesek, setiap kuliah keringet dingin, takut.” Begitulah keluh seorang mahasiswi salah satu kampus di Jawa Tengah. Kekerasan seksual memberikan dampak yang begitu kompleks bagi korban. Bentuk kekerasan ini bukan hanya non verbal, namun juga verbal. Pelakunya dapat dikenakan sanksi yang dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021 diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yaitu sanksi administrasi ringan, sedang, dan berat. 


Sanksi administrasi ringan adalah berupa teguran, pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasi di internal kampus atau media masa. Sanksi administrasi sedang adalah pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak jabatan, atau pengurangan hak sebagai mahasiswa. Sanksi administrasi berat adalah pemberhentian tetap dari jabatan atau status mahasiswa. Kemudian, jika Perguruan Tinggi tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual maka dapat dikenakan hukukam berupa penghentian bantuan sarana dan prasarana, dan/ atau penurunan akreditasi.


Kekerasaan seksual bukan hal sepele yang bisa dinormalisasi. Miris ketika tindakan tercela ini masih ditertawakan dan dianggap bahan candaan. Mereka yang melindungi pelakupun tidak lebih baik dari pelaku itu sendiri. Perempuan dengan martabatnya bukanlah bahan olokan, candaan, atau ejekan. 


Wanita adalah makhluk yang dilahirkan dengan segenap keindahan. Bukan sebagai pelengkap laki-laki, namun sebuah anugerah bagi kehidupan manusia. Awal dari peradaban, sekaligus menjadi porosnya. Kehancuran perempuan adalah kehancuran peradaban. Mereka perlu dirangkul bukan karena mereka lemah, mereka adalah makhluk paling kuat. Dalam sejarahnya, mereka adalah makhluk yang dapat bertahan dari berbagai penderitaan. Mereka perlu dirangkul karena mereka adalah mata air kehidupan, dan tumpah air matanya adalah bencana. 


Penderitaan, kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan bentuk penindasan lainnya manjadi bayang-bayang hitam yang menghantui. Berapa banyak pasang mata yang seringkali harus buta melihat luka yang membekas, menodai nama mereka. Adalah fakta, mulut yang setiap hari membaca Al-Qur`an dan buku masih banyak bisu, menonton rangakian tangan yang meraba dan merobek harga diri perempuan. Adalah nyata, tangan yang setiap hari menggulir dzikir dan menulis pikir mangkir saat bagian demi bagian diputar. Berapa banyak pasang mata yang kesaksiannya bisu. 


Pencegahan dan penanganan adalah wajib untuk kita kawal bersama. Tindakan ini adalah kontribusi dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dan ramah perempuan. Ketika langkah dirasa berbahaya saat ingin lantang menyuarakan keadilan, maka lingkungan itu sendiri sudah tidak aman dan ramah perempuan, tidak pantas dianggap sebagai Universitas sebab tidak lebih dari selokan. 



Hidup Perempuan!!!

Hidup Korban!!!

Lawan!!!




Penulis: Jlamprong 


Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post