Belum Cukup Umur

Sumber: Pinterest
 

“Perkawinan dengan jarak usia itu sekitar 17 tahun dimana si perempuan baru 15 tahun. Apa pendapatmu?”


“Terlepas jarak mereka yang terpaut cukup jauh. Menurut UU Perkawinan itu gak boleh untuk pihak cewe karena belum legal ya, diperbolehkan kawin itu cowo cewe sama-sama udah 19 tahun. Iya, walaupun ada dispensasi kawin, tapi itu diberikan kalau ada urgensi tertentu.” Pedil melanjutkan, “Tapi kalo yang kamu permasalahkan jarak usia mereka ya setauku gak diatur UU, kalau gak diatur UU berarti diperbolehkan. Kecuali ceritamu itu ada unsur paksaan dari salah satu pihak, bisa tergolong pidana karena diatur UU TPKS.”


Pedil menjawab studi kasus dengan gamblang dan mudah kuterima. Sengaja kupaksa bertemu setelah melewati negosiasi alot terkait waktu dan tempat. Jadilah kami memilih bangku pinggir danau sebagai tempat cipok (moci lan ndopok).


“Sekalian mancing apa gimana? Gak sekalian aja di semak belukar. Nanggung.”


Ck, murah meriah, Dil. Elah!!”


“Jadi.. true story kan? Ceritain, mau denger.”


*** 


Flashback On


HELEN, remaja awal berbadan sintal itu masih betah memandangi cincin silver yang melingkari jari manis kirinya. Senyum sumringah menjelmakan bagaimana bungah Ia yang tak lama lagi dipersunting Dikin si pujaan hati. Sempat gumaman terdengar lepas dari mulutnya yang mungil. Senyampang bertemu, kutanya apa kiranya pertimbangan gadis berparas ayu itu menerima lamaran pria yang usianya terpaut sangat jauh. 


“Mmm… kata Mas Dikin cinta banget sama aku, Mbak.” 


 “Itu alasannya, hah?” Tanyaku ganjil.


“Ya apa cinta perlu alasan, Mbak?” Ia melanjutkan, “Mas Dikin bilang aku ini perempuan paling pas buat dia ajak berumah tangga.” 


Mendengar itu Aku menjadi paham maksud ucapan Pedil tentang Helen; umpan pas bualan si Dikin yang banal dan kawakan. Sebanal buah cakap orang-orang dusun yang masih sepintas lalu terdengar.


“Keluarga Karsim beneran kedapatan durian runtuh. Seserahan aja persis boyongan rumah, segala lemari, mesin cuci, sepeda listrik ada.” 


“Kalau jadi Karsim udah kuminta sekalian buat lunasin semua utangku!” 


“Mau itu masih bocah kalau dapet mas kawin macem-macem ya siapa yang gak nolak.”


Bagi orang-orang dusun, perempuan tak payah mengayun pena di bangku sekolah yang akan lebih menyenangkan lekas menikah.


“Kamu gak ada pikiran buat menolak?” Helen hanya menggeleng. 


“Aku ada kenalan yang bisa bantu kamu keluar dari permainan ini, Hel.” Iya, permainan rumah-rumahan.


Dia kembali menolak.


“Kamu belum cukup umur, Helen.”


“Mbak, bilang saja iri sama aku karena masih muda begini sudah laku.” Sialan, Aku dibungkam telak oleh ucapan menodongnya. Apa katanya? Iri? Bila perkawinan bukanlah laik agama yang sempurna, Aku mana mau repot-repot melakukannya. Kepalang tanggung sentimen di ubun-ubun, kutinggalkan kamar lebih tepat kediamannya. Persetan belum atau cukup umur. 


Tepat di pelataran, tidak sengaja kulihat gelagat aneh dari orang tua Helen yang menjauh ke pekarangan rumah. Aku mendekat dan mendengar suara pelan mereka bercakap-cakap. 


“Aku kok masih ragu, ya. Apa gak salah mengawinkan anak wedok sama si Dikin?” tanya Karsim, ayah Helen kepada istrinya.


Uwis toh Pak, mereka yang mau kawin ya seneng-seneng aja. Kita cukup melakukan kewajiban sebagai orang tua menikahkan anak. Beres toh Pak! Pengadilan yo membolehkan, kita ngapain pusing.”


“Masalahnya umur si Helen sama Dikin jaraknya terlalu jauh. 17 tahun, apa gak kesusahan si Helen buat menyesuaikan diri termasuk pola pikir sama suaminya nanti, Buk?!”


“Halah Bapak, kaya baru liat orang kawin usia muda! Banyak Pak dusun kita mempraktikan perkawinan dini kaya begini. Rahasia umum.”


Saat mencoba menarik benang merah dengan setampah citra yang diberikan orang-orang dusun tentang ke-materialistis-an orang tua Helen, Aku menemukan fakta lain bahwa dalang perkawinan dini ini adalah Bu Warsiti, Ibunya Helen. 


Tiga minggu berlalu, aku hanya menghela napas sambil memandangi perhelatan perkawinan yang dominan berhiaskan bunga rustic. Perempuan muda bergaun warna senada tersenyum merekah memandangi pria yang telah berstatus suaminya. Pertunangan lalu undangan, upacara, perayaan, mimpi menjadi kenyataan.


“Kamu tok yang tak liat-liat masang tampang blegedes, Mbak! Opo si?” 


Flashback Off


*** 


“Pengin tau gak tanggapanku sama perkawinan Helen ini?” Pedil melempar tanya setelah kutuntaskan cerita tadi. “Apa?”


“Ya apa? Jawab malah balik tanya. Cukup umurkan buat mikir sampai situ?” 



Penulis: Sri Subekti Wahyuningrum

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post