Refleksi Budaya Populer Typing Ganteng

Sumber: Pinterest


Kenapa harus Typing Ganteng?

            Bayangkan dunia tanpa bahasa, tentu akan lebih ruwet dan semakin membingungkan dalam segala hal. Tak ada tanda, simbol, kata-kata atau sejenisnya yang membantu memahami pesan dan informasi. Untungnya, hal itu tidak pernah terjadi sekalipun dalam sejarah. Bahasa Melayu tua menjadi cikal bakal dari bahasa Indonesia, lalu berkembang seiring berjalannya waktu. Misalnya, Typing Ganteng yang kini banyak digaungi oleh khalayak terutama kelahiran 2000-an. 

Typing Ganteng muncul sekitar tahun 2018-2019 pada Twitter yang diperkenalkan oleh Ivan Lanin, seorang Wikipediawan pecinta bahasa Indonesia. Typing atau mengetik virtual dalam Wikipedia memiliki arti sebuah kegiatan menempelkan jari ke sebuah keyboard virtual sehingga membentuk rangkaian huruf dan yang nantinya berubah menjadi kata serta dapat dipadukan sedemikian rupa agar membentuk kalimat.

Pada mulanya, Ivan mengonsepkan Typing Ganteng menggunakan bahasa Indonesia sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Hal ini bertujuan agar pesan yang disampaikan terlihat rapi dan enak dibaca tanpa kehilangan esensi komunikasi santai. Merubah kebiasaan dari era Typing  yang semula "aq" menjadi "aku", qt menjadi "kita" dan lain-lain.

Budaya ini bertahan cukup lama bahkan berkembang secara terus menerus dan dinilai lebih efektif meningkatkan ketelitian serta menunjukkan kecakapan masyarakat dalam menggunakan bahasa sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dibanding literatur cetak. Perkembangan dari budaya Typing Ganteng memicu kreativitas, sumbangsi terhadap inovasi teknologi hingga membantu untuk mengenali identitas seseorang. Bahkan sempat beberapa kali trending soal jasa pelatihan Typing Ganteng hingga cerita naratif seperti Alternative Universe (AU) yang marak dikonsumsi oleh muda-mudi.


Sisi lain Typing Ganteng yang dinormalisasi

Akan tetapi, segala sesuatu tak ayal dapat lepas dari sisi negatif yang dibawa. Dalam perjalanan budaya ini, tak sedikit didapati penyimpangan dari konsep awal yang dimaksudkan sehingga perlu disadari dan dibenahi bersama. Dalam aktualisasi budaya ini, tak jarang ditemukan bahasa yang dimodifikasi secara berlebih sehingga menimbulkan kebingungan dan mispersepsi, terkhusus bagi komunikan. Jika komunikator tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, hal tersebut dapat melanggar prinsip kesopansantunan dalam berbahasa yakni memaksa pendengar atau komunikan untuk menerima pembicaraan pembicara. Misalnya penggunaan istilah asing serta akronim dari beberapa kata. 

Selain itu, alih-alih berekspektasi untuk meningkatkan ketelitian, justru para penganut Typing Ganteng ini acapkali menonaktifkan atau mengacuhkan kapitalisasi kata. Kebiasaan ini berdalih bahwa jika awalan kata menggunakan kapital akan terkesan kaku, padahal tindakan tersebut dapat berimbas menurunkan tingkat pengetahuan terhadap kata yang dihukumi wajib menggunakan kapital.

Alih fungsi emotikon juga menjadi problematika yang tidak dapat dihindari. Misalnya, emotikon tangis yang semula digunakan untuk representasi tangisan, kini difungsikan untuk mewakili tawa dari percakapan yang dikirim komunikator. Tentu tak semua orang dapat menerima hal tersebut, tidak ada indikator yang mutlak agar dapat menyesuaikan budaya tersebut sehingga mereka yang patuh pada aturan emotikon dinilai sebagai orang baheula. Membentuk ‘kesenjangan generasi’ meskipun lahir dan tumbuh pada era yang sama. 


Bagaimana seharusnya menggunakan Typing Ganteng?

Terjebak dalam komunikasi yang nyaman dan santai rentan membuat individu lupa dalam memposisikan dirinya dalam sebuah proses komunikasi. Kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sudah sepatutnya untuk dibenahi agar tercipta keharmonisan serta keselarasan dalam menyampaikan maksud. Kehadiran Typing Ganteng memang membawa kreativitas dan inovasi dalam berbahasa, namun terdapat nilai-nilai sebagai batasan untuk melestarikan serta menghindarkan dari dilema.

Perlunya memahami konsep awal yang dibawa oleh Ivan Lanin mengenai Typing Ganteng dan tetap memperhatikan pemakaian bahasa dalam berkomunikasi seperti penggunaan istilah atau akronim, emotikon pendukung serta aturan kata baku. Selain itu, alangkah baiknya tidak ‘menjustifikasi’ seseorang sebab tidak mengikuti standar trending yang ada. 


Penulis: Jasmine Azzahra


Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post