PBAK FDK 2024: Selebrasi atau Eksploitasi?

Ilustrasi oleh Departemen Medhum LPM Saka


Dalam sebuah pagelaran, sudah seyogianya panitia memegang penuh kendali. Begitulah kiranya batas minimum yang wajib dipenuhi, lalu bagaimana wajah panitia Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang dirakit sedemikian rupa? Bagaimana otak dan fisik mereka bekerja? Kepentingan apa yang melandasinya? Sebelum lebih jauh, apresiasi kami sampaikan pada panitia atas sekadar tuntasnya PBAK Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Sebagai mukadimah, Kami sarankan panitia melakukan refleksi agar sedikit dapat berpikir dan bertindak sebagai sosok hidup tanpa cempurit. 


Totebag PBAK, Eksploitasi Mahasiswa untuk Kepentingan Siapa?

Menjadi satu lakon dalam PBAK FDK tahun ini, turunnya instruksi yang menuntut Mahasiswa baru melarisi proyek jual beli seperangkat totebag. Tidak tanggung-tanggung, totebag dan isinya yang mewah ini dipatok dengan mahar tebusan Rp50.000. Dalam balut totebag putih bersemayam satu bungkus sari roti ukuran kecil dan sebotol minuman berlabel honeymon yang kabarnya tahun ini bergandengan dengan DEMA FDK dalam penyelenggaraan ajang adu gengsi DAF. 


M. Aini Sahal Fikri dalam wawancara LPM Saka, menuturkan masalah totebag tidak ada sangkut pautnya dengan panitia. “Sebenarnya bukan urusan panitia karena panitia cuma mendistribusikan. Masalah totebag, bundling, dan uang itu pun langsung diserahkan DEMA.” Begitulah terangnya. 


Pernyataan orang nomor satu di panitia PBAK FDK tadi cukup miris. Membuat kapasitasnya sebagai Ketua Panitia perlu dipertanyakan atas sikapnya yang memprioritaskan titah atasan dibanding urgensi penjualan. Hal demikian bersumber dari banyaknya ketidaktahuan akan urgensi proyek ini, di luar pembagian keuntungan Rp5.000 untuk kepentingan PBAK yang kekurangan dana, katanya. Sampai hari pelaksanaan, Fikri masih tidak memahami betul masalah penjualan ini, lebih lanjut tidak ingin tahu. “Keuntungan saya tidak tahu karena dari awal adanya totebag ini saya ngga mau tau karena kalo saya terlalu fokus pada barang bawaan saya kan hanya bertugas teknis yaa.” Fikri juga menambahkan bahwa totebag ini bukanlah tanggung jawab panitia. 


Dengan kondisi ini sikap kritis panitia justru perlu dipertanyakan, sebagai penyelenggara meloloskan bisnis jual beli ini menumpangi kegiatan PBAK FDK. Berbanding jauh dengan pernyataan Fikri dalam wawancara LPM Saka hari pertama PBAK, “Jangan jadi Mahasiswa yang apatis, harus bisa berpikir kritis”. Sikap kritis yang dituturkan kepada Mahasiswa baru melalui kegiatan PBAK justru panitia belum mampu, Fikri khususnya tunjukan dalam kinerjanya, lalu siapa yang sebenarnya perlu mengikuti kegiatan PBAK jika pada faktanya demikian? 


Fikri menambahkan alasan tetap dibagikannya totebag ini adalah karena telah dipesan dengan jumlah sebanyak mahasiswa, pesanan atas sepengetahuannya. Fikri sempat mempertanyakan hal ini pada DEMA, walaupun harus tetap launching pada akhirnya, dengan alasan yang tidak dia ketahui. Lalu sebenarnya kepentingan apa dan milik siapa yang hidup dibalik eksploitasi Mahasiswa baru ini? 


Talkshow Pembuka dan Pelanggarannya

Menilik pembukaan PBAK, dihidangkan TalkShow dengan titel Penguatan Peran Mahasiswa sebagai poros Kegiatan Sosial. Dalam penyampaian, terdapat momen yang dalam kondisi saat itu dapat disebut upaya promosi salah satu dari organisasi ekstra kampus. Upaya ini secara tata aturan termasuk dalam bentuk pelanggaran. Hal demikian cukup disayangkan. Koordinasi yang buruk dan ketidaksiapan panitia menimbulkan pelanggaran yang seyogianya disikapi serius oleh pihak yang berwenang. Namun, kejanggalan ini tidaklah menuai teguran dan evaluasi, seakan dianggap angin lalu. penyelenggara yang menuntut mahasiswa taat aturan namun dalam pelaksanaan belum dapat mengimplementasikannya.


Hukuman Fisik, Bentuk Penertiban atau Upaya Perpeloncoan?

“Tibpak norak, kampungan main lempar.” Cuitan Mahasiswa baru dalam notes yang LPM Saka sediakan. Banyak cuitan senada. Dari seluruhnya, mayoritas tulisan beresensi demikian. “Iya, lempar pulpen sama buku.” Terang salah satu Mahasiswa baru. Masalah pelemparan bolpoin diafirmasi salah satu Tibpak. 


Tidak terbatas tindakan melempar bolpoin dan buku saja. Namun, berlanjut pada sejumlah hukuman fisik. Fikri menerangkan hukuman fisik memang diberikan dalam bentuk push up dan lari. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya penertiban. Cukup disayangkan, PBAK yang menggaungkan sikap kritis namun dalam penentuan hukuman masih ketinggalan jaman. Dengan begitu banyak pilihan, dipilih hukuman fisik yang dapat merujuk pada tindak perpeloncoan dan menjadi contoh nantinya. Kekhawatiran muncul jika nantinya hal ini dicontoh secara berlebih. Tindakan ini makin menunjukan rendahnya sikap kritis yang dimiliki panitia. 


Cuitan Mahasiswa

“Untuk beli makanan saja sudah hampir Rp700.000 lebih karena harus wajib beli dan wajib bawa, belum untuk beli dua totebag.” 

“Keberatan untuk mengeluarkan Rp50.000 dengan benefit yang kurang memuaskan.” 

“Totebag mahal, konsumsi isi angin.”

“Kenapa beli totebag dengan harga segitu cuma dapet roti 1 dan minum 1? Mahal banget loh.”

“Tibpak kasar, masa main lempar spidol.”

“Terlalu banyak pengeluaran, padahal ga semua Mahasiswa orang mampu.” 

“Kurangnya transparansi keuangan, khususnya biaya Totebag.”

“Acaranya bosenin.”

“Banyak orang kurang mampu! Gausah semua dipake buat ajang bisnis.” 


Cuitan sejumlah Mahasiswa ini menjadi bagian wajah PBAK FDK. Sikap kritis yang dituntut panitia, tidak perlu diuji melalui drama tibpak. Biarkan mereka bersuara, biarkan mereka melawan pihak yang memamerkan kata perjuangan namun melakukan penindasan yang sudah umum terjadi. Kami tagih tanggung jawab atas teriakan, Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Sebab sampai hari ini, menghidupi moral dan kelompok sendiri masih kesulitan. Menuntut Mahasiswa tertib, maka panitia perlu melihat pundaknya. Mengajarkan kerjasama, silahkan evaluasi kinerjanya. Satu nilai yang berhasil diajarkan dan diimplementasikan, tunduk pada aturan khususnya pada pimpinan, sebab perintah di atas akal sehat dan integritas.



Penulis: Ade Arifin Yusuf dan Nafisah Az Zahra


Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post