Dewasa [?]

 Ilustrasi : Pixels

I

Di umur 7, dengan rambutnya yang ikal dan mulai berakal. Dirinya bercita-cita lekas dewasa. Dalam pandangannya, dewasa sama artinya punya kehidupan sendiri. Tidak ada omelan ibunya lagi, pulang pergi sesuka hati, dan selebihnya menghasilkan uang sendiri.


Lain usia lain cerita, di umur 23, dengan rambut yang sama ikalnya dan telah melewati masa pubertas. Ia duduk persis dihadapan pertanyaan yang sesekali muncul pada seusianya. Ibarat resep, baru sejumput sendok memasuki manis pahitnya hidup, apa tidak bisa seterusnya menjadi kanak-kanak saja?


Sebab kehidupannya bukan lagi tentang ke-aku-an. Sesekali ada, namun jarang momentumnya. Apalagi dengan status anak yatim yang ia sandang seusai bapaknya tiada. Menghardik siapa orang yang meloloskan hajat ibunya untuk menikah lagi. Mencibir siapa orang yang melemparinya dengan kata ke-egois-an. Memasygulkan siapa orang yang menjual agama dan hendak menghalalkan kenikmatan lubang wanita.


"Tak masuk di logikaku apa kata mereka yang mengaku dewasa dan kenyang makan asam garam kehidupan. Cuih! Omong kosong!" Hardiknya.


Dia menjadi tersangka, pemikirannya dianggap keliru. Sontak saling gontok-gontokan mempertahankan argumen sendiri. Menjadi pakar kemudian merasa paling benar dan arif. Lantaran itu juga merasa perlu mencampuri arah kehidupan manusia lainnya. Tidak menerima begitu saja rencana Tuhan Sang Maha sutradara.


"Aku akan bekerja dan berusaha mapan. Sebab dengan itu, hajat ibu menikah lagi ditanggalkan." Katanya kemudian.


"Senang mengetahui kebesaran hatimu untuk menghidupi keluarga ini."


Dia hanya diam dan membuat kesimpulan; siapa orang yang memvalidasi sikapnya tanpa diminta adalah siasat untuk menghindari. Menghindari tanggung jawab tanpa memusingkan keruwetan. Menghindari ocehan mengandung keluhan yang segera ingin disumpal.


II

Berangkat pagi - bekerja - pulang malam - kembali ke awal. Begitu ritmenya selama beberapa lama tanpa jeda tanpa rehat. Belum lagi lingkungan kerja dengan peraturan yang tidak masuk akal. Kewarasannya dipertaruhkan. Namun, Ia masih belum melepaskan.


"Kamu sudah merasa paling menguasai harga-harga di sini?! Ibu saja sebagai pemilik masih lihat daftar menu! Lupa diri, ya, kamu!!"


"Apa perlu semua yang ibu omongkan ke kamu diculek-culekkan!! Masih bisa mikir normal gak!!"


"Ibu udah kenyang sama modelan kaya kamu!! Goblok kok dipelihara!! Polos begini taunya bandit!! Mau jadi pahlawan kesiangan, kamu, hah?!!!"


"Besok jadwalnya dia karena sakit, kamu gantikan shiftnya!!"


Umpatan, serapahan, dan perintah sesuka hati begitu tak menjemukan dirinya kembali bekerja. Tentu itu resiko dari Ia yang bukan sesiapa; karyawan biasa, buruh pekerja, dan jongos-jongos dari peraturan penguasa. Apa lah arti kemerdekaan diri bila percaturan hidup tak memilih sebagai pengusaha, menterengnya menjadi wiyata, dan mudahnya lagi meneruskan warisan keluarga.


Mau protes pun ke siapa orang yang disalahkan? Bukan kah ini kemauannya untuk bekerja dan lekas mapan? Kenapa malah mengadu nasib dan merasa paling kesusahan? Pertanyaan berkelindan dalam kepala.


"Tuhan terlalu bermain-main dengan hidupku,"


"Kalau hidup enggan, mati lah bila perlu. Hidup ya begitu pantas memikirkan kebutuhan sandang pangan." Pungkas siapa orang yang dituakan olehnya.


III

Orang tua adalah manusia maha benar dan luput dari salah. Salah satu spesies primata pemakan segala rupa kebajikan dan kepatuhan. Tidak suka siapa orang terutama anak muda yang getas ataupun tangkas berucap. Kritik-kritik amatir mengancam otoritas ke-orang tua-annya. Begitu krido lama yang masih terus ditekankan pada percaturan kehidupan.


"Apa susahnya bilang iya?! Tinggal dilihat saja sejauh mana ia menyanggupi beban asap dapur. Mau membantu? Kapan?! Butuhnya juga sekarang!!"


Orang tua ini menganggap kehidupan manusia lainnya adalah panggung sandiwara. Bermain peran, bosan, dan meninggalkan. Waktu bagi orang tua adalah hal remeh dan mudah dibeli. Apa saja bisa menjadi solusi tidak ada yang tidak mungkin. Orang muda tinggal terima jadi sambil menunggu di bawah kaki. Tanpa repot menentukan dan bercuap-cuap lidah.


"Kalaupun benar berpendidikan ya tunjukkan, dong." Pungkas orang tua itu.


Konon sejak itu Ia menjadi manusia tanpa mulut. Dia tak pernah berbicara lagi dengan siapa orang. Cita-cita umur 7 tahunnya terpenuhi sembari mengayuh tanya tentang apa kenapa bagaimana. Telusur jawab yang kalaupun nihil, satu tugasnya terlaksana. Menjadi anak berguna.



Penulis: Sri Subekti Wahyuningrum

Editor: Syakira Alya

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post