(Ilustrasi: Freepik) |
Sebuah gazebo dengan bambu-bambu sebagai penyusunnya kita tabuh dengan renyah tawa dan canda yang kita lontar. Malam itu kita terbang kasih, setiap kata dan rayuan membentang menembus cakrawala, kita ada dalam puncak kenikmatan. Biarkan aku mempersembahkan diriku malam itu.
...
Saat seorang manusia tersesat sendiri, apakah yang dia cari? Apakah yang dia harap? Seberkas cahaya saja telah menjadi firman Tuhan, yang begitu berharga. Apa yang akan manusia lakukan pada seberkas cahaya itu? Ya, mengejar adalah keniscayaannya. Ketika manusia dalam dahaga di sebuah gurun dengan molek gundukan pasir, yang diharap adalah oase, dan jika itu datang apa yang akan manusia lakukan? Ya, mengejarnya adalah keniscayaannya, walaupun mungkin itu fatamorgana. Namun, bukankan fatamorgana adalah mata air untuk dahaga keputusasaan?
Begitulah kasih, aku ingin membasahi kujur tumbuhku atas dirimu, aku ingin menenggak setiap anggur yang engkau sajikan, yang engkau bawakan. Walaupun anggur bukanlah anggur, sebab apa yang engkau bawa, itulah anggur untukku, apa yang kau kenakan adalah sutra bagiku. Aku adalah budakmu, kakiku sudah kau ikat penuh, hidupilah aku, sebab aku sudah mati. Setiap pengharapanku telah aku gantungkan padamu, entah akan kau apakan aku, apa kuasa seorang budak? Aku hanya akan menjadi penerima, atas dirimu dan takdir yang menyertaiku. Sekarang apakah hidupku ditentukan atas kuasaku? Tidak kasih, hidupku dalam genggamanmu.
...
Malam semakin berjalan mengejar puncaknya, memaksa kita kembali pada peneduhan masing-masing. Sebuah sepeda ontel hasilku mencuri milik londo yang sempat berpatroli beberapa malam lalu, aku kayuh dengan dua lenganmu yang melingkar pada badanku yang berkenakan pakaian compang-camping. Tidaklah jauh perjalanan kita, beberapa menit setelahnya engkau turun dari sepedaku-karena sudah lima hari bersamaku dan tidak diambil lagi oleh londo sialan itu-beranjak membelakangiku berjalan dengan lilitan jarik nan molek dibadanmu.
Malangnya diriku yang malam hingga esoknya, kepala dipenuhi dirimu, suara tawamu yang terus berdengung di kedua sisi telinga, dan wangi yang khas menempel erat di pakaianku, sempat aku cegah saat si mbok hendak mencucinya, ingin kumuseumkan saja. Walaupun nyatanya wangi dan suara itu memang sudah melekat erat jauh dalam diriku.
...
Seperti biasanya, setiap hari minggu tanpa perlu merancangkan janji, sore harinya aku akan menjenguk telaga, lebih tepatnya menjenguk kemesraan kita. Aku memang selalu datang tepat waktu sebelum kamu, namun sungguh aku maklumi itu. Ditengah menunggu selalu aku sempatkan diri menghadapi segenap senyum dan tawa yang nantinya akan selalu menghancurkan pondasi yang sudah kubangun.
Namun, tidak seperti biasanya, sore itu aku menunggu lebih lama. Sayup-sayup kicau burung yang hendak kembali dari perantauannya mulai terdengar, irama-irama sore hari mulai bersautan. Hari mulai merebahkan badannya hingga adzan Maghrib berkumandang, waktu saat biasanya kita telah menuntaskan kisah hari itu, disimpan untuk dilanjutkan esok hari. Sosokmu masih belum juga nampak. Kekhawatiran memuncak saat penantianku sampai pada adzan Isya, yang membuatku harus mengusaikan pengharapan atas pertemuan denganmu hari itu.
Malam mulai meredup, kelambu hitam raksasa menutup sorot rembulan. Aku hanya menerka semoga kau baik-baik saja disana, tidak hadirmu sore ini mungkin hanya sebab ada perkara kecil saja. Semoga kau sehat dan baik disana. Akan sabar aku menunggu dengan doa terbaik untukmu, semoga hari minggu selanjutnya kita dapat berjumpa dengan berbagai kabar gembira.
...
Mas, panjang perjalanan kita. Perjalanan yang saling menguatkan, saat aku sendiri disana kamu berdiri, saat kamu sendiri disini aku berusaha mengerti dan memahami. Kita masing-masing penjadi penolong. Kamu hadir setelah begitu banyak masalah dan kekhawatiran menghujam, dan membuatkan mampu berdiri kembali tentunya dengan percaya pada kakiku sendiri.
Saat hidupku gelap kamu berupaya menjadi seberkas cahaya, dan saat kamu berada di gurun aku berusaha menjelama oase yang dapat membuatmu lega. Panjang cerita dan harapan yang kita lambungkan.
Tapi mas, hubungan kita hanya berdasar pada keyakinan kita. Engkaupun tau tentang khawatirku, yang menjadi “mengapa” kita sembunyikan kasih ini. Dunia bukan hanya sebatas utopia semata mas, kita harus membuka mata bahwa hidup perlu material, perlu uang. Sedang sanggupkah kita bersama jika memaksakan pada keinginan semata?
Dua hari yang lalu, seorang anak kyai meminangku menjadi istrinya. Setelah jauh pertimbanganku, aku terima lamaran itu. Aku tidak bisa lagi menunggumu. Pernikahanku ini nantinya bukan hanya pernikahan harta dan paras saja mas, namun aku telah memilihnya dari lubuk hati yang paling dalam. Aku percaya dia akan menjadi imam yang baik untukku, mas.
Engkau bukalah hati untuk wanita lain, hidup tidaklah sebatas sempitnya daun kelor. Ikhlaskan aku, dan kamu pasti akan bahagia dengan wanita yang engkau pilih nantinya. Doa ku akan selalu menyertaimu, mas.
...
Jantungku rasanya ingin berhenti berdetak saat satu hari sebelum jadwal pertemuan kita, sebuah surat tertanda namamu sampai di kedua tanganku. Sesak nafasku setelah selesai aku membacanya. Sebuah kekhawatiran besar yang selama ini menghantuiku menjadi kenyataan. Kita memang tidak pernah membeberkan kedekatan kita atas permintaanmu, dan aku paham setiap pertimbanganmu, dan hari ini melalui sebuah surat kecil dengan kondisi yang lusuh engkau benar-benar mengakhiri hidup dan pengharapanku. Setelahnya kita tidak akan pernah dapat bertemu kembali, hanya sebatas jika engkau berkenan menjengukku dibawah batu nisanku.
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?