Ilustrasi : wagers.id
Opini - The
Matrix trilogy bisa
dikatakan film yang selama bertahun-tahun menempel dalam kehidupan kami.
Maksudnya “kami” adalah saya dengan geng main jaman SMP dan SMA.
Belakangan seiring PSBB, teman lama bikin grup-grup baru, sekadar kirim video
atau ngobrolin hal-hal ringan, hingga satu saat seorang teman kembali
menyinggung mengenai film ini.
Semua berangkat dari pertanyaan”..mengapa
kok orang-orang, lama-lama seperti tidak bisa membedakan mana yang real life
dan online life ya?..“ Seiring batasan itu menjadi semakin kabur, “hidup
kini juga semakin berkurang human touchnya,” ujarnya. Dan singkat cerita,
dia mau berdiskusi sekalian bikin konten di youtube tetapi “tolong gunakan
bahasa yang popular dan jangan terlalu akdemis,” dan “okee..” saya
mengiyakan, walau later-on baru saya sadari bahwa inilah bagian
susahnya.
***
Membumikan konsep dan teori yang
kita pelajari bertahun-tahun dengan tradisi, bahasa dan komposisi akademis
adalah tantangan tersendiri. Tetapi mungkin di situlah letak keasyikannya. Saya
tidak bisa semerta-merta menyebut Baudrillard dengan konsep dan teorinya karena
kemungkinan teman saya tadi langsung illfil atau ilang feeling dengernya.
Tapi okelah, saya anggap mudah-mudahan ini bisa menjadi perbincangan
sehari-hari yang mencerahkan, ya paling tidak saya sendiri dan teman saya tadi.
Sebelum saya menjawab pertanyaan
tersebut, saya berfikir sebentar, ini apakah betul mengenai The Matrix, atau
teman saya sesungguhnya sedang berbicara mengenai hal yang lain?
The Matrix yang saya ingat
bercerita bahwa manusia pada hakikatnya hidup dalam dalam kondisi tidak sadar.
Realitas yang dirasakan manusia dalam film tersebut tak lain hanya simulasi
dari teknologi robotik yang di colok, atau di plugged-in melalui
otak di belakang kepala kita. Setidaknya kalimat terakhir meminjam syair “my
pluggin baby..” dari satu lagu Muse. Dan anyway The matrix atau
bukan, saya mencoba mengurainya.
Saya berpijak dari kalimat atau
konsepsi teman saya menganai online dan offline. Konsepnya
sederhana saja, bahwa ada dua sisi dalam manusia kini, yaitu sisi online dan
sisi offline. Namun saya beranggapan bahwa sisi online pada manusia
seharusnya adalah model, yaitu perwakilan atau konsepsi atas realitas
kita yang ada pada badan wadag offline
ini. Layaknya membangun sebuah rumah kita membuat modelnya terlebih dahulu,
dimensinya, lay out ruangan dan seterusnya, tetapi model adalah tetap
model dan bukan realitas sesungguhnya. Realitas sesungguhnya adalah tetap badan
wadag ini yaitu diri kita ketika dalam
kondisi offline.
Yang menjadi masalah adalah orang
sekarang tidak lagi membuat model atas gambaran offline diri kita,
tetapi memolesnya sehingga lebih superior daripada aslinya. Salah satu yang menjadi
argumen saya dalam hal ini, kita sampai pada titik bahwa kita sendiri adalah
suatu objek, suatu komoditi, layaknya objek konsumsi lain yang mengelilingi
diri kita. Kita sendiri sudah menjadi barang atau objek yang bisa
diperjual-belikan. Masyarakat sekarang sudah tidak bisa lagi memandang apa
kebutuhan sejati mereka bahkan kesejatian dalam kehidupan mereka.
Lah maksudnya bagaimana itu? Objek atau barang di jaman sebelum ada strategi marketing dan branding yang masif pada aslinya dikonsumsi karena fungsi barang itu. Tetapi sekarang dikonsumsi karena di belakangnya ada embel-embel prestige, honor, power, eksklusifitas dan seterusnya. Ketika barang dikonsumsi dengan embel-embel itu artinya fungsi suatu barang sebenarnya sudah berubah, dari nilai kegunaannya menjadi simbol. Dan simbol itu dipertukarkan satu sama lain dalam tatanan sosial.
Ketika anda tidak punya simbol tertentu maka anda tidak bisa masuk ke
kelompok sosial tertentu. Ibu-ibu sosialita misalnya, mereka memiliki simbol
yang sama untuk dipertukarkan. Tas mewah misalnya, mobil mewah, perhiasan dan
seterusnya. Ibu-ibu yang tidak punya tas mewah ya tidak punya simbol
untuk dipertukarkan sehingga tidak bisa masuk dalam kelompok tersebut.
Objek atau barang pada hakikatnya
dalam pandangan ini layaknya kata yang menyusun sebuah kalimat dalam suatu
sistem kebahasaan. Barang atau objek menjadi layaknya kata yang menyusun
tatanan sosial yang ada di sekeliling kita tersebut. Ketika objek dan barang
mendominasi tatanan berfikir manusia, maka pada hakikatnya kita kehilangan
kemerdekaan menjadi diri sendiri. Kita takluk dengan aturan berfikir tersebut
dan menjadi objek itu sendiri.
***
Selanjutnya, saya jadi ingat film
documenter mengenai Edward L. Bernays, nama yang juga mungkin tidak muncul
dalam diskusi dengan teman saya ini. Salah satu postulat dalam film tersebut
adalah ideologi konsumsi justru diciptakan dalam rangka menghindarkan society
terjebak dalam ideology yang aneh-aneh seperti fasisme dan komunisme.
Seperti kritik mazhab Frankfurt ”.. a passive mode of social integration.“ Satu
postulat yang mungkin harus di dalami lebih lanjut.
Tetapi dari pengertian mengenai hal ini saya menemukan link-nya dengan The Matrix teman saya, bahwa masyarakat konsumsi yang kita bicarakan sebelumnya diorganisasi melalui suatu “simulasi” atas realitas dan aturan sosial yang ditampakkan melalui iklan dan gaya hidup dalam televisi, social media dan lain sebagainya – lagi-lagi konsep Baudrillard di tahun 70an. Dan ketika kehidupan sosial berlandaskan atas hal ini, maka kita tak lain adalah budak-budaknya.
Orang terpengaruh atas jam
tangan apa yang kita pakai. Seorang teman yang melihat kita memakai jam tangan
itu bertanya apa merknya lalu dia terpengaruh membeli jam yang sejenis. Temannya
teman kita melihat lalu melakukan hal yang serupa. Orang di mall yang tidak
sengaja berpapasan dengannya melihat lalu dia berfikir “oke juga yah..saya
mau cari yang kayak gitu”.
Kita hidup sebagai masyarakat
yang “to see and to be seen”, atau ingin melihat dan sekaligus ingin
dilihat, konsepsi dasar atas masyarakat tontonan. Simulasi atas realitas yang
kita lihat setiap hari melahirkan hiperrealitas yang lebih indah, lebih
memukau. Dan ketika orang lebih memilih kehidupan yang penuh dengan simulasi
daripada kehidupan nyata ini maka di situlah mungkin inti letak dari pertanyaan
teman saya di atas.
***
Jalan keluar dari alam simulasi a-la
The Matrix adalah dengan cara meminum kapsul berwarna merah ketimbang
kapsul berwarna biru yang ditawarkan oleh si Morpheus. Kapsul merah berarti
kita akan bangun dan mendapati bahwa teman perjuangan kita tidak banyak,
melihat kenyataan bahwa kehidupan di dunia tidak tidak seindah simulasi,
sekaligus harus bersusah payah melawan yang tiran. Namun bila kita mendapat
tawaran untuk memilih kapsul merah atau biru, saya tidak yakin semua orang akan
meminum kapsul merah.
Dalam The Death of Expertise karangan Tom Nichols (2017) masyarakat kini
digambarkan sebagai sekelompok orang yang cuek dan bahkan bangga dengan
ketidaktahuannya, atau ignorance. Dan yang lebih parah lagi beberapa
beranggapan bahwa ignorance terutama terkait dengan public policy adalah
suatu kebaikan. Menurut Nichols hal ini dilakukan masyarakat dalam rangka
melindungi sifat egoistik yang mereka miliki.
Dogma di era internet ini adalah
semua hal dapat diketahui dan setiap pendapat tentang subjek apa pun sama
baiknya atau sama bobotnya dengan yang lain. Masyarakat dianggap lebih
memilih posisi “uninformed”, sehingga memiliki argumentasi yang cenderung
salah atau “misinformed”. Lebih parah lagi dari minsinformed menjadi
“aggressively wrong”. Karenanya, tidak hanya banyak orang percaya
hal-hal yang tidak masuk akal tetapi mereka juga melawan untuk mempelajari
berbagai hal secara lebih mendalam. Suatu konsep yang mungkin juga relevan jika
kita padukan dengan issue infodemics , menjamurnya teori konspirasi dan
hoaks belakangan ini.
Saya
ingat ketika hidup di Jogja hampir setiap malam saya nongkrong di
angkringan teman saya asal Cilacap. Banyak strategi agar pelanggan betah untuk
mampir di warungnya. Dari menyediakan papan catur, TTS, sampai melontarkan
isu-isu tertentu hingga terjadi diskusi hingga larut malam. Yang menjadi
pelanggan di situ tidak hanya mahasiswa, tetapi bapak-bapak kampung yang ada di
sekitar angkringan. Karena saya sering makan gratis di situ, sebagai gantinya
motor saya sering dipinjam dan sayalah yang menggantikan menjadi penjual jahe
susu.
Satu
hal yang masih saya ingat adalah teman saya bilang, kalau diskusi memanas dan salah
satu diantara peserta diskusi mengawalinya dengan kata “pokokmen” (pokoknya),
maka diamlah, lanjutkan aktivitas yang lain atau ganti topik bahasan tertentu.
Saya pikir lagi, bisa jadi inilah bentuk strategi agar kalau ada uninformed-disinform
informasi, maka sikap “aggresively wrong” tidak menjadi-jadi atau
mungkin sederhana saja lah, pelanggan sekaligus perserta diskusi tidak
lantas sakit hati dan selalu ingin datang.
Penulis : Oki Edi Purwoko Dosen Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?