Ilustrator: Elma Mufliha Jannah |
Pandemi
Covid-19 memorak-porandakan berbagai sektor. Baik sektor formal maupun
informal. Saya tidak akan merutuk upaya bunuh diri pemerintah tempo lalu;
menaikan sektor pariwisata, memberi diskon kepada wisatawan mancanegara. Sebab,
sudah terlalu banyak yang mencibir pemerintah blunder dan keras kepala.
Meski, saya sepakat dengan pendapat mereka.
Seluruh
dunia sedang mengalami masa sulit. Organisasi Buruh Dunia (ILO) sebut
penyebaran pandemi Covid-19 memengaruhi 2,7 miliar buruh di dunia. Artinya,
sekitar 81% buruh di dunia terkena dampak. Dampaknya bermacam-macam, mulai dari
pengurangan jam kerja, dirumahkan, cuti tanpa gaji, sampai pemutusan hubungan
kerja (PHK).
Berbagai
kebijakan mau tidak mau saling sikut. Untuk memutus tali penularan Covid-19,
pemerintah Indonesia sendiri mengimbau buruh agar bekerja secara work from
home. Tetapi, perusahaan merumahkan buruh tanpa upah. Hal itu terjadi
lantaran pemasaran produk banyak yang terganggu. Baik impor maupun ekspor.
Akibatnya, perekonomian melemah. ILO bahkan sebut krisis ini merupakan kasus
paling parah setelah perang dunia kedua.
Selain
dirumahkan tanpa jaminan, gelombang PHK massal juga terjadi. Ganjar Pranowo
sebut ada 7000 buruh di Jawa Tengah yang terkena PHK. Di Kabupaten Purbalingga sendiri,
data terakhir Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Purbalingga mencatat
sebanyak 1.357 buruh di-PHK. Ribuan buruh tersebut berasal dari sembilan perusahaan,
seperti perusahaan mainan, pabrik kayu, dan yang paling banyak dari pabrik bulu
mata palsu dan rambut palsu.
Situasi
ini semakin sulit, meminjam istilah Profesor Psikologi Konseling David
Blustein, terjadi krisis di dalam krisis. Untuk mengatasi krisis ini,
pemerintah Indonesia membuat berbagai imbauan kepada perusahaan. Seperti
perhitungan upah meski bekerja di rumah, buruh yang menjadi orang dalam
pemantauan (ODP) mendapat upah penuh, sampai imbauan larangan PHK.
“Berita
tahu kepada perusahaan-perusahaan, agar tidak melakukan pemutusan hubungan
kerja,” kata Presiden Joko Widodo saat memberi instruksi kepada para Menteri, 16
Maret lalu. Tetapi, seperti permintaan tokoh agama kepada masyarakat agar
berlaku bajik, imbauan semacam itu pun dengan mudah dilanggar.
Buruh
Habis Dieksploitasi
Sebenarnya,
tanpa pandemi, buruh sudah habis dieksploitasi dari beragam sisi. Menurut Karl
Marx, untuk menekan biaya produksi, para pemodal niscaya akan terus menekan
upah dan imbalan kerja kaum buruh agar daya saing mereka ditingkatkan. Jadi,
kaum buruh pun semakin melarat. Mereka “merosot ke bawah syarat-syarat
eksistensi kelas mereka sendiri”.
Pemikiran
Karl Marx masih relevan sampai sekarang. Sebab, meski zaman sudah berganti,
kasus eksploitasi buruh masih terjadi. Atas nama keuntungan, para pemilik modal
dan penguasa imperialisme melakukan berbagai tipu daya. Seperti pemberhentian
buruh tanpa pesangon, PHK massal tanpa mengikuti aturan hukum ketenagakerjaan,
sampai pelanggaran hak maternal bagi buruh perempuan.
Belakangan,
ada salah satu kasus eksploitasi buruh yang membuat saya uring-uringan. Es krim
yang biasa dijadikan sebagai alat pembayaran artikel yang saya tulis, ternyata
menyimpan beragam kepedihan. Dulu, kawan saya seringkali membayar satu artikel
dengan lima sampai tujuh batang es krim Aice. Ternyata, di balik kemurahan
harganya, ada kemarahan buruh yang dilarang berkobar. Meski, hak sebagian buruh
masih diabaikan.
Jika
Karl Marx bilang buruh dibuat semakin melarat, buruh PT Alpen Food Industry (PT
AFI) dibuat kehilangan cikal bakal kehidupan; bayi yang belum sempat
dilahirkan. Tercatat sebanyak 21 buruh mengalami keguguran. Saat dimintai
keterangan, pihak PT AFI menuding buruh tersebut melakukan seks saat tri
semester kehamilannya.
Tidak
hanya hak maternal, buruh kontrak pun belum mendapat jaminan. Banyak kasus
tentang buruh kontrak yang di-PHK tidak sesuai hukum dan pulang tanpa membawa
pesangon. Ada pula kasus buruh yang bertahun-tahun tidak mendapat upah. Hasil
yang mustinya diterima malah dibawa kabur oleh perusahaan asing.
Selain
itu, praktik union busting juga masih marak terjadi. Menurut Juanda
Pangaribuan, union busting merupakan pemberangusan serikat pekerja.
Istilah ini merujuk pada upaya memperdaya serikat pekerja bagi kepentingan
majikan atau perlakuan kooptasi pada serikat pekerja. Dengan beragam “pukulan”
yang diterima buruh, pemerintah memang nampak tidak melakukan fungsi pengawasan
secara preventif.
Di
masa pandemi Covid-19, gelombang PHK massal dan sejenisnya memang sulit
dihindari. Saya kira, masa karantina bisa dijadikan momentum evaluasi. Pasalnya,
pandemi Covid-19 terlalu banyak menunjukkan kebobrokan sistem negara kita. Pemerintah
harus ada iktikad baik; menentukan kebijakan yang tepat tanpa menimbulkan
masalah baru. Kalau pemerintah berniat membantu buruh yang paling terdampak,
jangan ada upaya terselubung di dalamnya.
Saya
pikir, persoalan buruh tidak bisa menjadi dalih pemerintah untuk memperkaya sekutunya
di istana. Sebab, kalau Presiden Joko Widodo berslogan “kerja kerja kerja”
untuk menuju #IndonesiaMaju, buruh tetap “kerja kerja kerja” tapi habis itu
di-PHK. Yang berkuasa memang tidak berganti, tetapi kesadaran kolektif terhadap
pemberhentian eksploitasi buruh harus tetap dijalankan.
Selamat
hari buruh, Kamerad!
*)
Umi Uswatun Hasanah, mahasiswi partikelir. Suka menghayal dan makan es krim.
Editor
: Wahid Fahrur Anas
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?