Oleh Fadilah Widayanti*
Hanya Bejo dan Wahyudi yang masih tinggal di asrama mungil yang rapi ini. Sedangkan teman-teman kerjanya yang lain sudah pulang ke daerah asal masing-masing. Sebenarnya Bejo juga ingin pulang, tapi niat itu selalu diurungkan meskipun keinginan Bejo untuk pulang selalu mengganggu pikirannya. Jika pulang, Bejo khawatir membawa resiko besar terhadap keluarga yang sangat Bejo cintai. Mengingat Bejo berada di kota besar dengan penyebaran bakteri berbahaya yang cukup tinggi.
Hanya Bejo dan Wahyudi yang masih tinggal di asrama mungil yang rapi ini. Sedangkan teman-teman kerjanya yang lain sudah pulang ke daerah asal masing-masing. Sebenarnya Bejo juga ingin pulang, tapi niat itu selalu diurungkan meskipun keinginan Bejo untuk pulang selalu mengganggu pikirannya. Jika pulang, Bejo khawatir membawa resiko besar terhadap keluarga yang sangat Bejo cintai. Mengingat Bejo berada di kota besar dengan penyebaran bakteri berbahaya yang cukup tinggi.
Bakteri
ini tumbuh di makanan-makanan yang tidak bersih dalam pengolahannya. Karena
banyaknya warung makan dan restaurant cepat
saji yang tidak memerhatikan kebersihan makanan, bakteri ini tumbuh dengan
cepat dan menyerang sistem pencernaan manusia bahkan bisa menyebabkan kematian.
Apabila sudah memakan makanan yang mengandung bakteri ini, tubuh akan terasa
sangat lemas karena muntah-muntah.
Angka
kematian akibat bakteri ini sebenarnya cukup kecil, namun sudah ada korban
meninggal akibat bakteri ini. Peternakan ayam tempat Bejo bekerja ditutup
sampai jangka waktu yang belum ditentukan sebab mengalami kerugian, karena
berkurangnya restaurant dan warung
makan yang memesan ayam potong.
Hal
ini menyebabkan Bejo tidak memegang cukup uang belakangan ini. Itulah yang membuat
Bejo khawatir akan dirinya dan keluarganya. Bukan khawatir akan bakteri, tetapi
khawatir tidak dapat memberi nafkah. Kekhawatirannya kadang membuat Bejo cemas
hingga berpikiran negatif
mengenai hal itu.
***
“Kamu yakin mau pulang?” tanya Bejo pada Wahyudi teman terakhirnya yang sudah siap pergi meninggalkan asrama.
“Yakin enggak yakin sih Jo. Takut
juga kalo saya pulang terus jadi pengangguran, gak bisa nafkahin anak istri,” ucap Wahyudi dengan raut wajah cemas.
“Kalo kamu yakin, ayok kita berangkat,” ucap Bejo sambil menyiapkan sepeda
motor untuk mengantar Wahyudi ke tempat pemberhentian bus.
Bejo
dan Wahyudi melihat pemandangan yang tidak seperti biasanya pada bus yang akan
membawa Wahyudi. Bus sangat sepi, hanya ada sopir, kernet, dan dua orang
penumpang termasuk Wahyudi yang baru akan naik. Tidak ada pedagang kacang yang
berteriak. Tidak ada pedagang rokok dan minuman yang cekatan lari dari bus satu
ke bus yang lain. Tidak ada pengamen yang bergerombol. Dan tidak ada tidak ada
yang lain.
Bejo
melepas kepergian Wahyudi dengan lambaian tangan, tanpa Bejo turun dari sepeda
motor yang dia pinjam dari tempatnya bekerja.
“Titip
salam buat bapak ibu sama adik-adikku yah, Yud!!!” ucap Bejo setengah berteriak
pada Wahyudi yang sudah berada di pintu bus. Wahyudi berbalik badan dan
mengarahkan tangannya ke pelipis seolah berkata, “Siap!!!”
Segera
Bejo kembali menghidupkan sepeda motornya dan kembali ke asrama. Di tengah
jalan, tak henti-hentinya Bejo memikirkan keluarganya yang juga rindu dan
khawatir pada Bejo. Sebenarnya keluarga Bejo menginginkan agar Bejo pulang ke
rumah saja. Tapi Bejo menolak dengan alasan andalannya “masih banyak
pekerjaan”. Padahal jelas-jelas tampat kerja Bejo ditutup.
Tak
sadar pikiran itu membuat Bejo menjadi lapar. Hingga Bejo melihat warung dengan
spanduk bertuliskan “100% higienis dan 100% halal” yang membuatnya menepi
menuju warung itu. Bejo memilih makanan yang sekiranya cukup dengan uang yang
dia bawa di kantongnya.
“Nasi pepes tongkol sama sayur kangkungnya satu piring ya, Bu.”
“Iya Pak, ditunggu ya sebentar.”
Sambil
menunggu makanannya datang, Bejo berjalan ke arah kulkas berisi minuman dingin
yang terletak di dekat jendela. Saat hendak mengambil minuman pilihannya, Bejo
melihat kakek tua yang memerihatinkan di balik jendela. Bejo mengurungkan niat
untuk mengambil minuman, dan hendak meghampiri kakek itu.
“Nasi
tongkol sayur kangkung sudah siap!!!” teriak ibu penjual makanan sambil
berjalan menuju meja yang tadinya diduduki Bejo. Melihat pelanggannya tidak ada
di meja yang dituju, Ibu itu keluar sembari menengok kanan dan kiri sampai
akhirnya menemukan Bejo yang sedang berjalan menghampiri kakek tua.
“Pak, ini makanannya,” ucap Ibu itu pada Bejo.
“Oh iya terima kasih bu.”
“Sama-sama. Makanan di warung saya ini 100% halal dan 100% terbebas dari bakteri berbahaya lho Pak, hehe.”
“Iya, Bu.”
Ibu
pemilik warung meninggalkan Bejo. Setelah menerima makanan itu, Bejo duduk di
sebelah kakek tua dan menawarkan makanannya. Awalnya kakek itu menolak, tapi
akhirya tawaran Bejo diterima oleh si kakek. Melihat kondisi kakek yang cukup
lemas, Bejo dengan percaya diri menyuapkan makanan yang ada di tangannya kepada
kakek itu.
Suapan
pertama, si kakek masih terlihat lemas saat mengunyah. Suapan kedua, kakek itu
mulai lahap dalam menyantap suapan Bejo. Suapan ketiga,
“Hoeeekkk … hoeeekkk … uhuk … hoeeekkk,” makanan yang katanya bersih dan halal
itu keluar dari mulut kakek hingga hampir mengenai pakaian Bejo.
“Hoeeeekkk … hoeeekkkk,” suara si kakek terdengar sampai ke dalam warung makan, hingga menyebabkan orang-orang yang sedang makan di dalam warung terganggu.
“Hoeeeekkk … hoeeekkkk,” suara si kakek terdengar sampai ke dalam warung makan, hingga menyebabkan orang-orang yang sedang makan di dalam warung terganggu.
“Apa
makanan ini terkontaminasi bakteri berbahaya?” gumam Bejo dalam hati. Beberapa
orang dalam warung bergegas keluar karena penasaran dengan apa yang terjadi di
luar. Termasuk Ibu pemilik warung menjadi panik hingga keluar juga mengikuti
yang lain.
Seorang
pemuda menyodorkan air mineral dalam botol yang dibawanya dari dalam warung,
“Ini airnya diminum, Kek.” Meskipun sudah tidak ada lagi sesuatu yang keluar
dari dalam mulutnya, kakek itu masih terlihat sangat lemas. Dan tidak memberi
respon kepada orang-orang di sekitarnya.
Melihat
Ibu pemilik warung datang, Bejo beranjak dari sebelah kakek itu dan menuju ke
arah Ibu pemilik warung. Bejo memberi kode pada Ibu pemilik warung supaya
mengikutinya agar sedikit menjauh dari kerumunan.
“Ibu
bilang makanan disini higienis, lalu
kenapa kakek itu bisa muntah-muntah setelah memakan makanan dari warung ini?
Jangan-jangan makanan di warung ibu sudah terkontaminasi bakteri berbahaya,”
“Emm
gak mungkin lha pak. Buktinya yang lain juga gak kenapa-kenapa kan tuh.”
“Iya
juga sih, tapi kenapa kakek itu bisa begitu ya. Kalo sampe bener makanan disini
mengandung bakteri berbahaya, warung Ibu pasti gak akan dipercaya lagi sama
pembeli. Kayak warung-warung lainnya yang akhirnya tutup,”
“Duh
saya jadi takut kalo warung saya harus tutup gara-gara makanannya
terkontaminasi bakteri berbahaya. Hmmm. Saya pasrah aja deh. Yaudah pak ayok
kita lihat kakek itu lagi.”
Kakek
itu terlihat sudah mulai membaik. Dia dapat merespon dan menjawab beberapa
pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya. Saat Bejo dan Ibu pemilik warung
mendekat, segera saja orang-orang memberi jalan kepada Bejo dan Ibu pemilik
warung untuk mendekati si kakek.
“Bu,
apa makanan Ibu sudah terkontaminasi bakteri berbahaya?” Tanya salah seorang
pemuda.
“Saya
gak yakin kalo makanan yang ada di warung saya terkontaminasi bakteri
berbahaya. Karena saya dan tukang masak yang ada disini selalu mengutamakan
kebersihan saat proses pemasakan. Tapi kalo makanan saya mengandung bakteri,
harusnya nasib kalian semua juga sama seperti kakek ini,” jawab Ibu pemilik warung dengan
menutupi kepanikannya.
Si
kakek mengubah posisi duduknya hingga membuat seluruh mata tertuju padanya. Dan
si kakek mulai menggerakan bibirnya. Dengan sangat lirih dia berkata, “Aku
sudah membaik, aku tidak terkontaminasi bakteri apapun.” Orang-orang di sekitar
kakek terlihat menghembuskan nafasnya pertanda lega karena penjelasan dari si
kakek. Beberapa orang kembali ke dalam warung dan melanjutkan makannya.
Beberapa orang masih setia menemani kakek itu, termasuk Bejo dan Ibu pemilik
warung.
“Apa
tadi kau memberikanku ikan tongkol?” ucap kakek itu dengan berusaha menatap
Bejo. Bejo hanya mengangguk. Bingung. Dan juga sedikit merasa bersalah.
“Kamu
tidak salah, Nak, yang salah itu anakku,” pernyataan dari si kakek tentu saja membuat Bejo, Ibu pemilik warung, dan
orang-orang di sekitar kakek itu makin bingung. Tanpa diminta, si kakek mulai
bercerita tentang apa yang terjadi.
“Aku
merasa takut dan jijik jika dihadapkan dengan ikan tongkol apalagi jika aku
memakan dagingnya. Menurut kalian ini pasti tidak masuk akal. Aku memiliki satu
orang anak durhaka yang sekarang sudah menjadi orang yang berkecukupan.
Penghasilannya berasal dari pekerjaannya pada bisnis ikan tongkol milik juragan
besar. Awalnya
aku dan anakku tinggal satu rumah, iya hanya berdua. Istriku sudah meninggal
saat anakku masih jadi anak manis yang patuh kepada orang tuanya. Saat anakku
sudah mendapatkan uang yang cukup banyak, dia hanya memikirkan dirinya sendiri.
Sedang aku harus mencari uang sendiri untuk membeli makanan.”
“Susah
sekali bagiku mencari uang untuk dapat membeli makanan. Hingga aku diam-diam
pergi ke tempat usaha tongkol tempat anakku bekerja, dan mengambil beberapa
tongkol untuk aku jadikan makanan. Beberapa kali aku tak ketahuan. Namun di
suatu malam, anakku sendiri memergoki aku yang sedang memasukkan tongkol ke
dalam wadah yang aku bawa. Anakku berteriak. Aku ketahuan. Orang-orang
memberiku ganjaran tanpa ampun. Aku dibawa ke suatu tempat dan ditahan di
dalamya. Setiap hari anakku melihatku, tapi dia tidak peduli.”
“Setiap
hari aku diberi ikan tongkol, yang bisa aku dapatkan tanpa aku harus mencuri.
Bukan ikan tongkol segar yang nikmat. Tapi ikan tongkol yang sudah mati dan
membusuk. Lama kelamaan aku tidak tahan dan aku berhasil kabur dari tempat itu.
Tapi aku menyesal kabur dari tempat itu. Karena aku tidak dapat bertemu lagi
dengan anakku. Apapun resikonya akan aku terima, asal aku dapat melihat anakku,
keluarga satu-satunya yang aku miliki.”
Kakek
itu berhenti bercerita, tanpa sadar Bejo meneteskan air mata. Kakek itu
menyadarkan Bejo bahwa begitu berharganya keluarga yang dia miliki. Selama ini
keluarganya menginginkan Bejo pulang.
Setelah
membayar makanan dan berpamitan dengan kakek itu, Bejo segera menuju ke asrama
tempat dia tinggal. Kejadian di warung makan membuat Bejo tak lagi lapar.
Sesampainya di asrama, Bejo langsung membereskan barang-barangnya dan
berpamitan kepada penunggu asrama bahwa dirinya akan pulang ke rumah. Tidak ada
alasan dan tidak ada kekhawatiran lagi bagi Bejo untuk menunda kepulangannya.
“Lebih
baik berkumpul dengan keluarga tapi hidup susah. Daripada sendirian tapi hidup
juga susah,” gumam Bejo dengan senyuman yang mengayun di pipinya.
*) Fadilah Widayanti, Ketua Departemen Riset
dan Pengembangan LPM Saka.
Editor : Wahid Fahrur Annas
Editor : Wahid Fahrur Annas
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?