Illustrasi : Pixabay.com |
Opini
- Seorang filsuf kontemporer asal Slovania, Slavoj Zizek bahkan mengatakan
bahwa hidup ini berasal dari katastrofi atau bencana besar. Alam semesta lahir
dari bencana besar. Seorang anak lahir dari kesakitan seorang ibu. Namun dari
bencana dan kesakitan itulah kehidupan yang baru itu muncul. Banyak katastrofi
hadir di dunia atau bahkan disekitar kita. Bersifat global atau bisa pula
individual.
26 Desember 2004
yang lalu terjadi gempa bumi Samudra Hindia. Gempa yang titik permukaan
kejadiannya terletak di lepas pantai Sumatera, Indonesia. Berskala magnitudo
9,1 – 9,3 gempa ini mengakibatkan gelombang tsunami yang luar biasa setinggi 30
meter (100 ft) di sepanjang pesisir daratan yang berbatasan dengan Samudra
Hindia. Tsunami ini menewaskan 230.000 – 280.000 jiwa di 14 negara dan
Indonesia adalah negara dengan dampak paling parah selain Sri Lanka, India, dan
Thailand.
Bencana terbaru
dan sedang melanda dunia saat ini, COVID-19. Corona Virus Disease 2019 atau
biasa disebut dengan akronim COVID-19 adalah jenis penyakit menular yang
disebabkan oleh SARS-CoV-2 yang merupakan salah satu jenis Coronavirus. Virus yang menyerang saluran pernafasan ini sedang menyebar diseluruh dunia sampai
hari ini. Update terakhir tanggal 7
April 2020 korban meninggal hampir 60.000 jiwa di seluruh dunia. Di Indonesia
sendiri sudah 221 kasus kematian karena virus ini.
Kematian yang membingungkan
Dari banyaknya bencana yang terjadi itu selalu ada korban dan selalu ada pihak yang dirugikan bahkan sampai pada tahap kehilangan nyawa. Kematian memang menjadi sesuatu yang sangat misterius untuk dibuka tabirnya oleh siapapun. Ketika dia datang pada orang tua yang renta terbaring tanpa tenaga dan terindikasi mempunyai banyak riwayat penyakit maka banyak orang maklum akan kehadirannya. Namun dia juga bisa datang kepada meraka yang sehat dan sedang bersenang-senang ditepi pantai tanpa tanda-tanda sebelumnya yang mampu mengaketkan banyak pihak. Dia juga datang secara tidak terduga kepada anak kecil yang tidak tahu apa-apa yang menimbulkan penyesalan sangat mendalam.
Dari banyaknya bencana yang terjadi itu selalu ada korban dan selalu ada pihak yang dirugikan bahkan sampai pada tahap kehilangan nyawa. Kematian memang menjadi sesuatu yang sangat misterius untuk dibuka tabirnya oleh siapapun. Ketika dia datang pada orang tua yang renta terbaring tanpa tenaga dan terindikasi mempunyai banyak riwayat penyakit maka banyak orang maklum akan kehadirannya. Namun dia juga bisa datang kepada meraka yang sehat dan sedang bersenang-senang ditepi pantai tanpa tanda-tanda sebelumnya yang mampu mengaketkan banyak pihak. Dia juga datang secara tidak terduga kepada anak kecil yang tidak tahu apa-apa yang menimbulkan penyesalan sangat mendalam.
Sudah menjadi batas kemampuan manusia untuk tidak mengetahui kapan kematian datang dan menjemput kita. Sesuatu yang juga terkadang terlupakan oleh manusia karena urusan sehari-harinya. Kemunafikan manusia akan kebenaran kematian harus dihilangkan karena kematian sesungguhnya dekat dengan kita dan menyelinap disetiap hembusan nafas. Manusia tidak bisa mengembalikan waktu ketika kematian itu datang. Setidaknya tidak ada kekuatan manusia layaknya Dokter Strange dengan Time Stone miliknya.
Ketidakpercayaan akan kematian berarti melawan alam dan dan apabila tidak meenerima kematian adalah delusi yang tidak berguna (Reza A.A. Wattimena, 2011 : 17). Tetapi ada pandangan lain mengenai kematian adalah sebagai jalan menuju kebahagiaan dan terlepas dari pedihnya dunia. Seperti Jalaludin Rumi dalam syairnya :
Ketika kau melihat jenazahku diusung
Jangan kau tangisi kepergianku
Aku bukannya pergi
Aku baru tiba menemui cinta yang abadi
Situasi batas manusia
Agaknya belakangan situasi di tengah pandemi virus covid-19 ini mengakibatkan ketakutan terhadap kematian, kecemasan akan penderitaan dan beberapa kepanikan. Dalam dunia ini memang banyak bencana besar terjadi dan kita hidup berdampingan dengan situasi-situasi semacam ini. Kematian, penderitan atau kesakitan memang selalu memberikan luka. Jika tidak sanggup menahannya maka kekecewan dan kesedihan adalah memeluk erat dengan ikatan kuat. Maka potonglah ikatan itu, lepaskan dari dari beban kehidupan yang menyakitkan. Karl Jesper, filsuf asal Jerman menganggap penderitaan, rasa sakit, usaha ditengah bencana disebut sebagai situasi batas. Situasi batas ini menuntun manusia untuk sadar pada akan adanya kekuatan yang besar melebihi dirinya.
Agaknya belakangan situasi di tengah pandemi virus covid-19 ini mengakibatkan ketakutan terhadap kematian, kecemasan akan penderitaan dan beberapa kepanikan. Dalam dunia ini memang banyak bencana besar terjadi dan kita hidup berdampingan dengan situasi-situasi semacam ini. Kematian, penderitan atau kesakitan memang selalu memberikan luka. Jika tidak sanggup menahannya maka kekecewan dan kesedihan adalah memeluk erat dengan ikatan kuat. Maka potonglah ikatan itu, lepaskan dari dari beban kehidupan yang menyakitkan. Karl Jesper, filsuf asal Jerman menganggap penderitaan, rasa sakit, usaha ditengah bencana disebut sebagai situasi batas. Situasi batas ini menuntun manusia untuk sadar pada akan adanya kekuatan yang besar melebihi dirinya.
Jesper mengingatkan kita untuk sadar dan berlapang dada akan bencana besar yang datang. Manusia harus siap dan terbuka menerima ketiaksanggupannya ketika bencana sudah terjadi. Sampai pada tahap manusia berikap terbuka ini maka manusia sudah sampai pada tahap krisis. Krisis adalah pintu pencerahan dan penemuan kesejatian dari yang sesungguhnya (Reza A.A. Wattimena, 2011 : 22).
Krisis memang mengakibatkan luka. Namun krisis di saat seperti ini adalah tahap awal sebagai jembatan untuk melihat secara jelas apa yang sebenarnya sedang dihadapi bukan terus terlelap dalam kesedihan dan terus meratapi. Tahap selanjutnya adalah pencarian kesempatan saat luka sudah dirasakan. Kesempatan untuk berbuat kebaikan. Ketika terjadi pengkhianatan maka itu adalah kesempatan untuk memaafkan. Ketika terjadi kejahatan maka itu kesempatan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan. Ketika bencana terjadi, disitulah kesempatan untuk menolong mereka dalam kesulitan.
Kesempatan dimasa krisis
Dimasa krisis akan virus sekarang ini carilah kesempatan yang bisa dilakukan walau hanya mengikuti himbauan untuk diam dan mengurangi berinteraksi di kerumunan. Jika punya kesempatan lebih untuk memberi bantuan berupa harta benda maka segera distribusikanlah kepada yang membutuhkan. Apalagi jika mempunyai kesempatan untuk berjuang sebagai tim medis sebagai garda terdepan maka bersegeralah untuk mengabdi.
Dimasa krisis akan virus sekarang ini carilah kesempatan yang bisa dilakukan walau hanya mengikuti himbauan untuk diam dan mengurangi berinteraksi di kerumunan. Jika punya kesempatan lebih untuk memberi bantuan berupa harta benda maka segera distribusikanlah kepada yang membutuhkan. Apalagi jika mempunyai kesempatan untuk berjuang sebagai tim medis sebagai garda terdepan maka bersegeralah untuk mengabdi.
Penguatan filosofis ini sepertinya penting sebagai upaya untuk menghadapi musibah atau bencana yang sedang terjadi sekarang ini. Pandemi yang edang menyebar dan berusaha ditekan ini bukan hanya dilawan dengan keilmuan medis sebagai garda terdepan namnun penguatan batin berbasis filosofi seperti ini perlu diupayakan juga agar mental dalam berjuang semakin kuat.
Namun nantinya, jika ada orang yang patah arah melawan badai, menerjang penderitaan, putus asa dan menyerah maka itu adalah pilihan. Pilihan semacam itu sebenarnya tidak perlu dilakukan karena bencana, kesakitan atau penderitaan bisa menjadi kesempatan sebagai upaya meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Seperti filsuf pendobrak peradaban, Friederich Nietzsce yang dengan gagah menerima kehidupan baik itu menyakitkan atau menyenangkan dengan slogannya yaitu Ja – sagen (= berkata – ya).
Penulis : Romi Zarida Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam 2017 (Kontributor)
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?