Foto: Dok. Pri |
Tiga
tahun lalu saya pengin banget bertemu dan ngobrol sama Raja Arab Saudi. Sebab, waktu itu saya
mendengar kabar Raja Salman bin Abdulaziz yang akrab disapa Raja Salman mampir ke
Indonesia dalam rangkaian perjalanannya ke Asia.
Gimana
saya ndak pengin ketemu? Raja Arab Saudi ini jarang banget berkunjung ke
negara kita. Indonesia harus menunggu hampir setengah abad untuk menemukan
momen itu. Sebelum Raja Salman, ada Raja Arab Saudi yang berkunjung ke Indonesia
yakni Raja Faisal bin Abdulaziz pada Rabu (10/6/1970). Kunjungan Raja Arab
Saudi yang pertama itu langsung disambut oleh Bapak Pembangunan.
Saya
dulu berpikir kalau pengin ngobrol sama Raja Arab Saudi, maka harus fasih bahasa
Arab. Kan, enggak lucu ya, saya ngobrol sama Raja Salman tapi pakai bahasa
isyarat. Apalagi saya itu dulu ada rencana lobi-lobi minta diskon haji buat
orang tua. Maklum, orang tua saya pengin banget menyempurnakan rukun Islam yang
ke lima.
Dengan
motivasi dan bujuk rayu guru BK, saya memutuskan memilih prodi Sastra Arab di
kampusnya Teh Yura. Tetapi, waktu itu saya ditolak. Sepertinya karena tidak
serius belajar SBMPTN, lantaran sibuk jual buku dan magang di toko roti.
Meski
begitu, saya kekeh untuk melanjutkan studi. Akhirmya, saya mendaftar PTKIN
lewat jalur Ujian Mandiri (UM). Karena tidak mau mengulangi kegagalan yang
sama, saya belajar sedikit agak rajin. Lalu, memutuskan untuk keluar dari
tempat magang. Dalam perjalanan ujian saya agak tercengang, karena saya disuguhi
bahasa Arab yang gundul.
Alamak
…
yang berambut aja suka enggak keliatan. Apalagi yang gundul, bambanggggg. Perjuangan
terakhir ini saya pasrah. Tetapi, kalau gagal lagi saya sudah ada motivasi lain,
yakni menikah. Ya, meskipun saat itu belum ada pasangannya. Tapi, saya yakin
Tuhan pasti sudah menyiapkan jodoh di balik kegagalan saya. Muehehe
Allahu
akbar … ternyata Tuhan belum mau saya kerepotan mengurus
suami. Saya diterima di IAIN Purwokerto prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)
Fakultas Dakwah. Awalnya, orang tua saya bingung kenapa saya memilih prodi KPI.
Tidak
hanya orang tua, saya sendiri juga bingung. Kok bisa? Padahal rencananya mau
belajar bahasa Arab biar bisa ngobrol sama Raja Salman. Lah, kalau masuk
Fakultas Dakwah? Mau nyeramahin Raja Salman? Ditampol kau pake ayat!
Setelah
muter-muter ngomongin Raja Salman, sebenarnya ditulisan ini saya mau membahas
beberapa pertanyaan yang suka dilempar ke mahasiswa KPI Fakultas Dakwah. Meski,
mahasiswa KPI konon terkenal edgy dan paling indie, kami juga sama
seperti anak PTKIN lainnya, seringkali menerima pertanyaan yang maksa banget.
Pertanyaan
ini hasil dari pengalaman pribadi. Kalau kalian tidak pernah mendapat
pertanyaan semacam ini, barangkali circle pertemanan kita berbeda.
Ehem...
KPI
itu G30S/KPI, ya? Hehe
Allahu
akbar… ini tolong jangan mengadi-ngadi ya. Menurut ngana
prodi yang masuk Fakultas Dakwah ini punya ajaran komunis?1!1!1!1 Ya belum
tentu wahai ukhti dan akhi. Meski ada beberapa mata kuliah yang
membahas G30S/PKI, bukan berarti kita bisa dituduh sebagai dalang sebuah
gerakan.
Sebenarnya
saya juga tidak sepenuhnya menyalahkan penanya. Barangkali karena pakaian nyentrik
yang kami gunakan alias ya ampun males banget buat syar’i. Jadi, dengan dalih kacamata
islami, mereka lihat kami sebagai dalang gerakan penentang kedisiplinan kampus.
Padahal, mah, akhi juga masih suka kuliah pakai sandal, kan? Hehe
KPI
itu lembaga yang suka nyensor-nyensor, ya?
Itu
Komisi Penyiaran Indonesia, syg. Kalau saya prodi Komunikasi Penyiaran
Islam. Yups, sering banget pertanyaan ini muncul kalau lagi nongkrong
sama mahasiswa non PTKIN. Makanya, kalau lagi males ketawa, saya langsung jawab
Ilmu Komunikasi.
Hehe,
bukannya tidak sayang dengan prodi sendiri. Tapi, saya agak tidak sepakat kalau
prodi KPI disamakan dengan lembaga yang sempat diminta bubar itu. Lagian, kan,
KPI itu memang di dalamnya ada disiplin Ilmu Komunikasi. Hanya saja, KPI ini
punya dasar keislaman.
Tapi,
tenang, kok ... kami dibebaskan memilih saat lulus nanti. Mau jadi jurnalis
boleh. Mau jadi penyiar boleh. Mau jadi staf Komisi Penyiaran Indonesia juga
boleh. Tapi saya sarankan jangan jadi staf KPI, kalau kalian masih suka salah
tegur. Tidak boleh begitu ukhti~
KPI
itu mahasiswanya ngga ada tugas, ya? Kok santuy banget~
Kalau
ini, sih, hampir 80% teman di kampus saya mengakui. Selain, kadang suka ditegur
dosen karena hobi terlambat masuk kelas. Mahasiswa KPI di kampus saya
juga sering banget ketawa-ketiwi tanpa beban di pusat Wi-Fi sambil mabar. Kalau
lagi ngumpul begitu, astaghfirulloh akhi bacotnya dijaga~
Tidak
hanya itu, kami juga kalau diajak nongkrong cenderung skuy meluncur.
Sehingga, masuk akal ketika mahasiswa KPI dianggap santuy dan tidak ada beban.
Padahal, penilaian itu tidak 80% benar. Kami juga ada tugas seperti mahasiswa
lainnya.
Seringkali
dosen juga memberi tugas yang tidak tanggung-tanggung. Beberapa mata kuliah
tugas akhirnya berkaitan dengan pembuatan film pendek, video, dan tugas
lapangan lainnya. Meski nampak seperti jalan-jalan, sebenarnya kami sedang
mencari tempat syuting yang low budget, liputan, dan nyari view
yang asik. Hayo ngaji dulu ukhti, biar lulus BTA PPI~
Mahasiswa
KPI itu kuliahnya bacot ngomong doang, ya?
Pertanyaan
ini tidak salah, tetapi kurang tepat. Di KPI memang ada beberapa mata kuliah
yang mengharuskan fasih berbicara. Seperti, Public Relation, Public Speaking,
Newscasting, dan lainnya. Dalam kuliah tersebut, tidak jarang kami diajari oleh
dosen trik dan tips agar berbicara di hadapan publik.
Kadang,
karena kami mahasiswa KPI, ada juga dosen yang memberi tugas untuk melakukan
ceramah di majelis tertentu. Dalam tugas ini, sudah pasti kami harus
menanggalkan pakaian nyentrik kebanggaan kami.
Itulah
beberapa pertanyaan yang biasanya diterima oleh mahasiswa KPI di kampus saya.
Emm, btw, kalau boleh, saya mau mengirim memo untuk Raja Salman. Boleh,
ya? Sedikit saja.
Dear
Raja Salman ...
Sampai
hari ini saya memang masih tidak fasih berbahasa Arab. Tetapi, percayalah,
kemampuan lobi-lobi saya meningkat. Plisss, abis corona lenyap kasiii diskon
naik haji, ya..
Tertanda,
Mahasiswa
KPI yang sudah fasih lobi-lobi.
*)
Umi Uswatun Hasanah, Mahasiswa KPI 2017.
Editor : Wahid Fahrur Annas.
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?