Fahruddin Faiz Doktor Ilmu Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. (foto:Kumparan)
LPM SAKA, Purwokerto - Ngaji Filsafat bertema Islam, Gincu, dan Garam digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Kelompok Studi Islam Kemasyaraatan (KSIK) di Auditorium Utama IAIN Purwokerto, Sabtu (08/02/2020) siang. Fahruddin Faiz membedah perbedaan alam pikir yang dibawa Bung Hatta dan Muhammad Natsir saat itu.
Ia mengawali ngaji filsafat dengan mengisahkan
perbedaan teori mengajar kedua tokoh filsuf Indonesia tersebut. Lalu
menjelaskan pokok pemikiran dengan peraga segelas air putih sebagai perumpamaan
Islam, dan menggunakan gincu dan garam untuk pembuktian.
“Apabila garam dituangkan ke dalam air,
warnanya tetap sama namun rasanya akan berubah, sementara gincu warnanya akan
berubah merah tetapi rasanya sama. Itu artinya, garam tak tampak namun terasa,
sedangkan gincu tampak tapi tak terasa” jelasnya.
Faiz mengatakan, tafsir yang diterapkan
Muhammad Natsir lebih terpaku apa yang dituliskan dalam teks. Sedangkan Bung
Hatta mewarnai kehidupan budaya bangsa meskipun tidak secara format. Namun
keduanya sama-sama memperjuangkan aspirasinya walau dalam artian memiliki
pandangan yang berbeda.
“Mengenai tafsir dalam islam itu bukan siapa
yang lebih benar, tetapi Islam menyeru untuk berlomba-lomba dalam kebaikan,” ujarnya.
Ngaji Filsafat Islam, Gincu dan Garam di Auditorium IAIN Purwokerto (8/2).
Selain itu, Faiz juga menjelaskan tradisi
Islam yang terdiri dari sayap kanan dan sayap kiri. Ia mencotohkan golongan
kiri Mu’tazilah dan golongan kanan merupakan Al-Asyariah.
Dalam tradisi Islam ada sayap kiri, di titik
pertama adalah rasionalisme kepercayaan. Bahwa inti beragama di akal budi
manusia. Di era modern ini, tidak hanya menggunakan akal dan wahyu namun juga
perlu melihat realita hidup.
“Kebenaran itu relatif jika melihat kondisi di
zaman sekarang ini yang selalu berubah-ubah,” ungkapnya.
Kemudian di sayap
kanan, titik yang pertama adalah tradisionalis menggunakan
sesuatu yang tampak diolah dengan akal budi manusia. Misalnya, Al-Asyariah lebih kaku dan formal serta menerapkan sebuah gerakan dalam sebuah
aliran.
“Usaha-usaha itu nantinya akan melalui jalur keras yang puncaknya itu pada
terorisme atau jalan perang,” imbuhnya.
Sementara itu, pembina Unit Kegiatan Mahasiswa
Kelompok Studi Islam Kemasyarakatan Agus Sunaryo mengatakan, ada beberapa syarat yang harus di pegang dalam
berdiskusi yaitu antusiasme, istiqomah dan sabar.
“Ini merupakan moment yang penting untuk terus
berkembangnya pemikir-pemikir di IAIN Purwokerto. Serta untuk meningkatkan budaya diskusi yang
mulai melemah,” pungkasnya.
Reporter : Lili Khoeriyah & Silfiani
Editor : Wahid Fahrur Annas
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?