Aliansi Mahasiswa KKN Revolusi Mental setelah melakukan aksi di Halaman Rektorat IAIN Purwokerto pada Rabu (04/09/2019) siang. |
LPM SAKA, Purwokerto - Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani dibebani Gerakan Nasional Revolusi Mental. Di dalam gerakan tersebut, ada lima gerakan inti yang musti dijalani, yakni gerakan Indonesia melayani, gerakan Indonesia tertib, gerakan Indonesia bersih, dan gerakan Indonesia mandiri. Salah satu jalan kecil yang ditempuh oleh Puan adalah menitipkan program Revolusi Mental kepada mahasiswa. Program tersebut kemudian diberi nama ‘KKN Tematik Revolusi Mental’.
Pada 2017 lalu, Wakil Rektor III Supriyanto mendapatkan surat tawaran untuk bergabung dengan Kemenko PMK. Surat itu berisi ketersediaan IAIN Purwokerto untuk melaksanakan KKN Revolusi Mental. Setelah mendapatkannya, Supriyanto menghubungi Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat Agus Sunaryo. Setelah dihubungi, Agus berdiskusi dengan Luthfi Hamidi, rektor IAIN Purwokerto saat itu. Diskusi tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan untuk bergabung dengan Kemenko PMK. Tidak menyia-nyiakan peluang, Agus kemudian membuat proposal dan surat ketersediaan melaksanakan KKN Revolusi Mental.
“Ini juga memberi gambaran baru tentang pola KKN, yang waktu itu menurut kami ya stagnan. Begitu terus, tidak ada hal yang baru. Ditambah dengan ada bantuan keuangan, artinya sangat membantu kita. Karena tidak mengganggu dana keuangan KKN yang reguler,” ujar Agus saat ditemui LPM Saka di Ruang Kasubbag Fakultas Syari'ah pada Kamis (05/09/2019) siang.
Berkat laporan pertanggungjawaban yang dianggap benar, IAIN Purwokerto terus dipercaya untuk melaksanakan KKN Revolusi Mental. Sampai sekarang, IAIN Purwokerto terhitung sudah tiga kali melaksanakan KKN Revolusi Mental. Sehingga, pada Mei 2019 lalu, Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Misbahul berangkat ke Manado untuk mengurus Memorandum of Understanding (MoU) KKN Revolusi Mental. Selama tiga hari di Manado, Misbahul mengaku fokus mengurus MoU dan mengikuti sosialisasi jenis pelaksanaan KKN.
“Nah, kan, belum tentu praktik KKN di sana bisa diterapkan di sini,” terang Misbahul saat ditemui oleh LPM Saka di Gedung Pasca Sarjana pada Kamis (05/09/2019).
KKN Revolusi Mental Dianggap Janggal
Dilansir dari tirto.id, Kemenko PMK menggelontorkan dana Rp6,6 miliar untuk program KKN Revolusi Mental. Namun, Nyoman Shuida, Deputi V Bidang Koordinasi Kebudayaan Kemenko PMK mengaku dari tahun ke tahun dana KKN semakin turun. “Terakhir itu tinggal Rp50 miliar, tahun 2018. Tahun 2019 malah saya ingat turun lagi tinggal Rp30 miliar,” katanya seperti yang dikutip dari tirto.id, 23 Juli lalu.
Tetapi, sejak awal mengelola KKN Revolusi Mental, Agus Sunaryo mengaku IAIN Purwokerto selalu mendapatkan dana yang sama yakni Rp200 juta. Meskipun sekarang Agus sudah berhenti dan digantikan oleh Nurma Ali Ridwan, dana KKN Revolusi Mental ketiga ini juga mendapatkan dana 200 juta. Sayangnya, mahasiswa KKN Revolusi Mental angkatan 44 mencium ada yang tidak beres dari pendistribusian dana tersebut. Sehingga, pada Rabu (04/09/2019) ratusan mahasiswa dengan berpakaian gelap serta pita putih yang diikat di lengan melakukan aksi ‘Ada Panggilan untuk Melawan’.
Dalam aksi tersebut, ada lima tuntutan yang dilayangkan kepada LPPM. Pertama, seleksi masuk KKN Revolusi Mental. Kedua,. kebijakan program yang disamaratakan. Ketiga, buku panduan yang tidak dicetak. Keempat, sumber dana expo yang tidak jelas. Kelima, transparansi dana KKN. Selain orasi di depan halaman Rektorat IAIN Purwokerto, mahasiswa KKN angkatan 44 juga melaksanakan audiensi di Rektorat Lantai 4.
Menjawab Tuntutan Aksi
Dilansir dari laman lppm.iainpurwokerto.ac.id, pendaftaran KKN revolusi mental terdapat dua tahap yaitu pendaftaran via online dan pengumpulan berkas. Setelah mendaftar, LPPM akan menyeleksi peserta melalui kelengkapan berkas. Namun, proses seleksi tersebut dianggap janggal. Pasalnya, dari 400 mahasiswa yang lolos seleksi tidak semuanya melakukan pemberkasan. Sedangkan, mahasiswa yang mengumpulkan surat keputusan lembaga kemahasiswaan, bahkan menjabat sebagai ketua dinyatakan tidak lolos seleksi.
“LPPM enggak serius sama sekali dalam penyeleksian pemberkasan. Lagi demo Aliansi KKN Revolusi Mental, anggota LPPM malah saling menyalahkan. Ngomong ‘bukan salah saya’. Ya kecewa jelas lah pasti, kenapa yang benar-benar memenuhi, yang benar-benar udah ready, kenapa enggak diangkut?”, tanya Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Dakwah Khusnul Riski saat dihubungi LPM Saka pada Jumat (06/09/2019).
Setelah tujuh perwakilan audiensi melaksanakan briefing di halaman Rektorat IAIN Purwokerto, mereka langsung menuju ke rektorat lantai empat. Di sana, mereka beraudiensi langsung dengan Sekretaris LPPM Yuslam dan Kepala Kasubbag Hargianto. Namun, dalam audiensi Yuslam hanya mengantar Hargianto untuk berbicara. Bahkan, ia juga tidak terlalu banyak menjelaskan. Tetapi, beberapa kali Yuslam mengapresiasi adanya aksi sekaligus audiensi tersebut.
Selanjutnya, menjawab persoalan buku panduan yang tidak dicetak, LPPM mengaku merasa kewalahan. Pasalnya, sejak pergantian kepengurusan LPPM, tugas yang dibebankan tidak sebanding dengan personil yang ada. Sehingga, program KKN revolusi mental terlalaikan. “Terkait buku panduan yang seharusnya satu desa mendapatkan satu buku panduan, tidak jadi didistribusikan karena alasan itu, LPPM terlalu banyak pekerjaan,” terang salah satu perwakilan audiensi Nadhif Nasrulloh, saat menemui demonstran di Halaman Rektorat IAIN Purwokerto.
Selain itu, Nadhif juga mengungkapkan bahwa program KKN Revolusi Mental tahun 2019 tidak mengalami perubahan program dengan KKN Revolusi Mental tahun 2017. “Yang katanya revolusi mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang ada malah mentradisikan yang sudah ada,” tambahnya.
Sementara itu, menyinggung distribusi dana expo yang tidak merata, LPPM menjawab pendistribusian tersebut tergantung dari jumlah peserta KKN. Lantaran mahasiswa KKN Revolusi Mental sebanyak 400 mahasiswa, maka mendapat anggaran Rp6.500.000. Sedangkan mahasiswa KKN Participatory Action Research (PAR) sebanyak 200 mahasiswa, mendapat anggaran Rp3.500.000. Padahal, menurut Nadhif, seharusnya jika dipukul rata, expo KKN Revolusi Mental mendapatkan anggaran Rp7.000.000.
Tidak hanya dana expo, persoalan keuangan juga melebar ke pembelian tong sampah. Semula, pembelian tong sampah dikatakan dikirim dari Jakarta, namun tim pencari data dari mahasiswa KKN Revolusi Mental menemukan fakta baru. Ternyata, tong sampah dikirim dari Cilongok. Kemudian, Nadhif juga membeberkan harga tong sampah yang tidak sesuai dengan data yang diberikan oleh LPPM. Harga tong sampah besar yang tercatat oleh LPPM Rp120.000, sedangkan harga tong sampah kecil Rp100.000. Namun, harga yang tercatat di nota pembelian berbeda, tong sampah besar Rp100.000 dan tong sampah kecil Rp75.000.
Dalam audiensi, Hargianto mengaku merasa dibohongi dengan kejanggalan harga tong tersebut. “Berarti saya juga dibohongi untuk tong. Saya bayar segini, notanya segitu. Bohong nggak? Saya merasa dibohongi, bukan kalian tok. Saya juga dibohongi, Mas!” ungkapnya sembari berapi-api.
Meski begitu, setelah termin ketiga cair, Hargianto berjanji akan mengembalikan sisa uang yang dialokasikan untuk membeli tong sesuai data LPPM. Menurut perhitungan, ada Rp17.000.000 yang akan dikembalikan. “Ora susah ngetung, sesuk sing penting tak balekke duit. Kalau termin ketiganya cair. Tak undang koe, tak balekke kae mau. Tujuh belas ya?” ungkapnya memastikan.
Reporter : Umi Uswatun Hasanah
Editor : Nani Setiani
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?