Oleh: Iffah Sukmawati
Temaram senja tak menyurutkan tangan-tangan lincah mereka mendesain gubuk kecil di pojok kebun milik Nurul. Beratap karung bekas yang ditopang tangkai-tangkai ubi kayu, pun lengkap dengan dinding dari pelepah sawit tertata saling silang.
Temaram senja tak menyurutkan tangan-tangan lincah mereka mendesain gubuk kecil di pojok kebun milik Nurul. Beratap karung bekas yang ditopang tangkai-tangkai ubi kayu, pun lengkap dengan dinding dari pelepah sawit tertata saling silang.
Mereka
menghabiskan siang di sana, sorenya hingga datang waktu berbuka puasa pun
bertiga mewarnai langit-langit gubuk dengan gelak tawa.
“Bentar
lagi lebaran aku belum dibeliin baju baru.” Keluh Iffah, gadis kecil yang
paling muda usianya.
“Aku
sama adekku malah pake baju lebaran tahun kemaren.” Nurul menimpali sambil
melirik Firman.
Yang
dilirik hanya mengangguk santai sambil memainkan gangsing dari beluluk.
Seperti
anak seusianya, ia menjadikan baju baru sebagai acuan lebaran. Hingga H-1 Mamak
belum juga menawari Iffah untuk beli baju baru, ia masih teguh pendirian takkan
meminta sebelum ditawari. Takut merepotkan orang tua jika memaksakan membeli,
si gadis kecil kelas empat MI ini pun terus memendam rasa inginnya.
“Ya
udah lah, ga punya baju baru ga papa. Berarti besok lebaran mainya sama Mba
Nurul dan Firman yang ga pakai baju baru juga.” Hibur Iffah dibarengi bibir
manyunnya.
Gema
takbir menyeruak di penjuru nusantara, tak terkecuali
desa Purwasari amat meriah menyambut malam satu syawal ini. Bapak sibuk jadi
amil di mushola, Mamak pun serupa. Dari tadi sore berkutat dengan toples-toples
berisi kue lebaran.
“Nah
selesai, Yuk kita liat tarling Fah.” Ajak Mamak sumringah.
Bermodalkan
motor Vega-R Mamak memboncengkan putri semata wayangnya itu. Iffah berpegang
erat pada panggul mamak, keramaian segera menyambut saat keduanya meneyembul
dari tugu Jln Siak. Mamak terus memacu
laju motornya meski terhambat rombongan tarling.
Mamak
menghentikan motor di depan barisan ruko-ruko, “ayo turun!” perintahnya.
“Ngapain?
Palingan Cuma liat tarling kenapa harus turun drai motor segala?” Sangkal
Iffah, sambil memanyunkan bibirnya di balik semburat cahaya lampu sekitar.
“Emangnya
kamu ga mau milih sendiri baju lebarannya?” Mamak menggoda.
Manik
mata bening itu langsung berbinar-binar, lalu lompat kegirangan dari atas
motor. Menghambur seraya mengait tangan Mamak.
“Mba
Nurul! Mba Nurul!” Gadis kecil berkulit sawo matang berseru di depan rumah
trans berdinding kayu.
Pintu
berderit, menyembul bocah laki-laki dari balik daun pintu usang itu.
“Ayo
Main!” Seru si bocah perempuan berkepang dua.
Yang
diajak justru duduk termangu di teras.
“Kenapa?
O ya mana Mbamu?”
“Mba
nurul berangkat pondok.” Jelasnya singkat.
“Kok
ngga bilang-bilang? Ya ga bisa main lagi.” Gerutu Iffah.
“ini
memang dah rencana dari dulu, Mba Nurul akan lanjut sekolah SMP asalkan mau
mondok dan nanti Pak Tik yang akan membiayai.”
Iffah
ikut duduk di sisi Firman, “Mondok dimana?”
“Ploso,
biar jadi anak baik kalau mondok. Katanya Pak Tik.”
Saat
penghujung hari, mega bertahta di sudut barat. Iffah masih berkutat dengan mainannya,
masak-masakan. Kaki yang telanjang dan kedua tangan mungilnya lincah bergumul
lumpur.
“Iffah
ayo mandi!” Mamak meneriaki.
Itu
sudah kali kedua Mamak meneriakinya, tapi yang diteriaki bergeming. Lima menit
berlalu dengan tangan penuh busa ia menghampiri Iffah.
“Katanya
pengen punya adek tapi suruh mandi aja susah, apalagi suruh momong adeknya.”
Sindir Mamak sambil memebereskan mainan putrinya yang berserakan.
Iffah
kecil hanya bersungut-sungut manyun berjalan sebal menuju rumah.
“Mamak
ambilin handuk!” Pekik Iffah dari kamar mandi.
“Masya
Allah! Kenapa ga bawa handuk sekalian to lah? Mamak masih nyuci piring nduk…”
Omelnya gemas, sambil beranjak mengambilkan handuk.
Matahari
kian nampak gagah di langit timur. Bapak sibuk menyiapkan barang dagangannya,
sate pariaman. Mamak pun tak kalah ribet mengurus rumah dan membantu sang
pencari nafkah keluarga kecil ini.
“Mamak!
sabukku mana?” Pekik Iffah menyela-nyela kesibukan keduanya.
Mamak
tergopoh-gopoh menghampiri putri pertamnya yang lumayan ceroboh. Iffah
mondar-mandir mancari pengikat pinggang dari kamar ke lemari, ruang tamu, meja
belajar sampai serupa kapal pecah di acak-acak.
“Bocah-bocah,
makanya yang disiplin yang rajin yang teliti jangan ceroboh jangan pelupa…” Dan
banyak yang yang lainya yang mamak Iffah ocehkan. Demi melihat Putri kecilnya
sudah mulai remaja namun masih menyita seluruh perhatian sang Mamak.
Debu
membuntuti roda-roda yang menggelinding di aspal menampar mata Iffah.
Menggerutu jadi andalannya bahkan hampir menangis merasakan pedih. Sebal pula
melihat teman-teman dijemput dengan motor sedangkan ia harus lelah mengayuh
sepeda. Tapi tak sampai hati meminta Mamak agar menjemputnya, terlebih hanya
ada satu motor di rumah itupun sudah dipakai Bapak jualan.
“Sendirian
Fah?” Bocah laki-laki menyapa dari belakang, berusaha menyamai laju sepedanya.
Iffah
mengangguk singkat, sambil menepis jilbab putihnya yang dimainkan kesiur angin.
Tak ketinggalan bibirnya bersungut-sungut sebal dengan wajah berpeluh.
“Udah
jangan cemberut, kan udah ada aku jadi kita bisa bareng.”
Begitulah
sahabat kecilnya, sekali pun laki-laki tak sungkan ada di sisinya.
“Alhamdulillha
Bapak ada rezeki longgar jadinya aku dibeliin sepeda buat pergi ke sekolah, ga
perlu jalan.” Paparnya.
“aku
pengen dijemput pake motor kaya temen-temn yang lain.”
“Emang
kenapa? Kamu takut dikejar anjing penjaga kaya waktu itu?” Tebak Firman sambil
terbahak-bahak.
Iffah
terkekeh sebal tapi pipinya bersemburat merah, malu.
“Kan
sudah ada yang nemenin ga usah takut. Syukuri saja apa yang kita miliki fah, oke?”
tandasnya.
Iffah
mengangguk setuju.
Selesai
menghempaskan sepeda di samping rumah berdinding tembok. Iffah segera rebahan
di bawah bingkai pintu melemparkan tas punggungnya sampai berdebam tanpa
mengganti seragam merah putihnya ia kemudian tengkurap semebarangan.
Mengeluarkan beberapa buku, lengkap sudah wajah gadis kelas lima MI ini yang
kucel sebab terpampang terik matahari ditambah moncong bibir melihat PR
bersarang di buku tugasnya.
Tak
kalap Mamak menasehati agar berganti baju dan makan lebih dulu. Baginya PR itu
nomor satu, tak heran jika gadis berwajah tirus dan berkulit sawo matang ini
jadi bintang kelas. Pantang pula menurut Iffah bangkit sebelum menebas habis
pekerjaannya itu. Bahkan ia tak sungkan ngambek saat ada soal yang amat sulit
ditaklukkan. Sang guru les sekaligus malaikat pun langsung beraksi membantu,
saat melihat putri kebanggaan merajuk kesal pada pundi-pundi soal.
Habis
menumpas tuntas pekerjaan rumahnya, Mamak menggiring Iffah untuk segera makan
dan berganti pakaian.
“Hmm terong.” Gumam Iffah.
“Mamak
gorengin telor ya?”
“Ngga
jadi makan lah.” Tukasnya.
“Masya
Allah, pengertian lah sedikit Fah, kamu kan dah gede. Pekerjaan bikin barang
dagangan aja belum selesai masih harus nurutin kamu ini itu. Boro-boro bantuin
eh….” Oceh Mamak memelas sambil mengangkat keranjang penuh berisi lontong.
Setengah
hati Iffah iba melihat peluh menitik di dahi Mamak. Tapi benaknya terlanjur
masygul. Ditutuplah tudung saji dan segera berlalu, kemudian menghabiskan siang
hingga matahari rebah menjelma senj, di atas pohon cery.
“Diomelin mulu, pagi saing sore, akukan emang masih pengen mainan terus ga suka makan terong hufftt!” Gerutu Iffah dari atas pohon cery, kakinya menggelantung bebas dari dahan pandangannya menerawangi langit biru di balik ranting-ranting dan dedauan hijau.
“Coba kalo masih ada Mba Nurul, pasti aku sekarang lagi mainan lompat tali, petak umpet seru deh pokoknya, ga sendirian kaya gini.” Tukasnya kesal, sambil membenahi duduknya di atas dahan kokoh si pohon.
“Apa kabar ya Mba Nurul? Apa bener kalo mondok jadi anak baik? Apa aku masih kurang baik? uhh…” Gumamnya bertanya-tanya.
Sambil membenahi posisi duduk di atas dahan agar tubuh geringnya tak terperosok jatuh, “Kalo jadi anak baik pasti lebih di sayang? Kayanya ga bakalan diomelin deh, Emmm kalo gitu aku mondok ah!
Kalau mau mondok kapan ya? Sekarang aja deh, bareng Mba Nurul pasti boleh.” Wajahnya sumringah, seusai berceloteh sendiri.
“Masih
belajar Fah?”
“Eh
dah seelsai kok Mak.” Iffah tergagap sambil menyembunyikan sehelai kertas yang
baru saja ia coret-coret.
Mamak
mematikan lampu, ruang tengah menyisakan remang-remang di sana. Iapun bergegas
ke kamar, ada sehelai kertas terkulai di lantai dan jadi tumpu pijakannya. Tiap
larik torehan di dalamnya memenuhi wajah kertas.
“Kalau mau mondok itu harus jadi anak yang mandiri dulu, biar ga kaget di sana. Nah kamu?” Sindir Mamak.
Yang
disindir pun terkekeh, menutup wajahanya dengan guling. Mamak justru
mengibaskan kertas yang tadi di temukanya, si empu pun semakin tersipu.
“Beneran
pengen mondok? Tapi nunggu Lulus MI masa mau tahun ini juga? Emang kamu yakin?
Ah Mamak belum percaya.”
Hufft…
hati Iffah mengaduh, kenapa Mamak sepesimis itu?
Bersambung…
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?