Angka tersebut melibihi target yang ditetapkan oleh Komite Buku Nasional (KBN), yaitu sebanyak 100 judul buku. Membanggakan memang, mengingat penerbit yang ikut serta jumlahnya menurun. Memasuki tahun ke-6 keikutsertaannya dalam ajang FBF, Indonesia menggandeng beberapa penerbit dan agen sastra untuk bergabung di Paviliun Indonesia. Dalam pameran kali ini Indonesia menyuguhkan buku-buku yang sudah terkurasi. Beberapa penulis seperti Avianti Armand, Ben Sohib, dan Zaky Yamani bahkan turut tampil di panggung pestisius Weltempfang. Membanggakan (lagi).
Sebagaimana dikatakan oleh Ketua KBN, Laura Prinsloo, FBF tidak hanya menjadi ajang untuk mempromosikan penulis Indonesia, tetapi juga untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia juga beradab dan memiliki intelektualitas yang baik. Selain itu, sektor pariwisata juga ikut terkena dampak positif. Sejak dikenal di FBF, berdasarkan penuturan Kedubes Indonesia di Jerman, aplikasi visa ke Indonesia meningkat 300 orang.
Indonesia menargetkan untuk sukses menjadi market of focus di London Book Fair (LBF) 2019. Mengingat LBF merupakan pasar jual beli hak cipta buku terbesar di dunia dan sebagai pusat buku-buku bahasa Inggris, Indonsia berpeluang untuk memperluas pasar jual beli hak cipta buku andaikata target tidak meleset.
Sejauh ini, tercatat beberapa penulis yang karyanya sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Antara lain Eka Kurniawan. Karyanya yang berjudul Cantik Itu Luka telah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa, Lelaki Harimau telah ditejemahkan ke dalam 13 bahasa, dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas telah diterjemahkan ke dalam 3 bahasa. Selain Eka, buku karya Leila S Chidori juga telah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa.
Ya, sekali lagi, kita patut berbangga. Tapi pertanyaan kemudian muncul, kenapa baru buku-buku sastra saja yang menembus pasar internasional dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa? Mengapa jajaran penulis Indonesia yang tampil di panggung pestisius Weltempfang hanya dari mereka yang notabenya ‘nyastra’? Apa kabar buku-buku non fiksi karya doktor dan profesor dari Indonesia? Kenapa dalam tulisan berjudul “Pesona Literasi Indonesia” (Kompas, 28 Oktober 2017), sama sekali tidak disebutkan satu pun judul buku non fiksi? Tidak adakah buku non fiksi yang terjual hak ciptanya? Atau, ada tapi tidak disebutkan?
Baik, pertanyaan-pertanyaan tersebut ‘sedikit’ terjawab oleh ungkapan Laura Prinsloo, sebagaimana dikutip dari detik.com, bahwa buku-buku yang dibawa ke FBF cukup beragam, mulai dari fiksi, non fiksi, buku anak, hingga komik. Lalu, apa yang dimaksud Laura dengan kata ‘dibawa’? Jangan-jangan, buku tersebut (baca: buku non fiksi sebagaimana yang sedang dibahas) hanya ‘dibawa’ untuk kemudian ‘dibawa pulang lagi’ tanpa ada satu pun yang terjual.
Memang, untuk memperlihatkan Indonesia sebagai negara ‘beradab dan memiliki intelektualitas baik’, tidak ada keharusan melalui buku non-fiksi. Melalui karya Eka, kita dan masyarakat dunia bisa belajar surealisme, sejarah, dan filsafat dalam balutan bahasa sastra. Melalui karya Leila, kita juga bisa belajar tentang sejarah yang dibumbui drama keluarga, persahabatan, cinta dan penghianatan.
Di satu sisi, hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki penulis fiksi yang hebat. Akan tetapi di lain sisi, ‘ketidaklakuan’ buku non fiksi kita mengindikasikan bahwa Indonesia jauh tertinggal dan semakin terpinggirkan dari perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Selain itu, ada kemungkinan ketidakberesan budaya literasi kita. Dalam hal minat membaca, berdasarkan hasil studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada 2016 lalu, Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara. Sedangkan menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya bahwa dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Memprihatinkan. Jangan terjebak dengan hasil tersebut, boleh saja kita menjadikannya tolak ukur, tapi jangan membuat kita tersungkur, atau bahkan saling menyalahkan.
Indonesia bukan tidak melakukan apapun demi memperbaiki budaya literasinya. Jika mulai tahun 1960 Indonesia telah mengupayakan pemberantasan buta huruf, maka sekarang saatnya membudayakan membaca dan menulis-sambil terus melakukan pemberantasan buta huruf- terutama di kalangan generasi muda. Di masa depan, buku-buku non fiksi kita juga bisa menembus pasar Internasional. Salah satu caranya adalah jika generasi muda (baca: mahasiswa sebagaimana digadang-gadang sebagai agent of change) rajin membaca dan mampu menuangkan ide serta gagasan cemerlangnya ke dalam tulisan, bukan hanya sekedar budaya lisan yang merongrong di panggung-panggung demontrasi. Selebihnya, peran pemerintah dan berbagai elemen masayarakat juga diperlukan guna terwujudnya literasi Indonesia yang lebih baik lagi.
Penulis: Anggita Aprilia Sari
Editor: Anggita Aprilia Sari
Illustrasi: Muhamad Hafsin
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?