Jika dilihat dari masa ke masa. Indonesia pernah menganut pada pers otoriter yang kemudian beralih kepada pers bebas bertanggung jawab yang acuannya pada pemerintah demokrasi liberal. Pers di sini mempunyai kemerdekaan yang dibebaskan dan masyarakat dilibatkan namun mempunyai tanggung jawab sosial.
Masyarakat yang bekerja di media massa, salah satunya jurnalis. Dalam melaksanakan profesinya, jurnalis dibekali Kode Etik Jurnalis (KEJ). Jika ditelaah keseluruhan, mempunyai dua muka yaitu kewajiban terhadap diri sendiri dan kewajiban terhadap orang lain. Kewajiban di sini masih dalam satu lini, tetapi sasaran yang berbeda. Kewajiban yang pertama untuk jurnalis sendiri dan kewajiban yang kedua untuk warga yang menerima hasil kerja jurnalis.
Sayangnya, meski dalam perizinannya pers sudah dibuatkan konstitusi tertulis yang terangkum pada UU. No. 40 tahun 1999, masih saja ada oknum yang berusaha melanggar perlindungan itu. Salah satu bentuk pelanggarannya adalah kekerasan yang berupa terror, pengrusakan alat, intimidasi, ancaman kekerasan, pengusiran saat liputan, dan kekerasan fisik.
Seperti yang dilansir dari catatan akhir tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2016 lalu menjadi tahun yang berbahaya. Sebab, setidaknya, ada 78 kasus kekerasan (35 kekerasan fisik), satu kasus pembunuhan, bahkan pelecehan seksual pada jurnalis perempuan yang hanya disebutkan inisialnya saja. Dari hasil verifikasi AJI, kategori pelaku utama ternyata malah dilakukan oleh warga, yang baru kemudian disusul oleh Polisi.
Belakangan, Oktobor lalu, di Banyumas terjadi tindakan represif oleh oknum aparat keamanan yang menimpa Darbe Tyas, jurnalis Metro TV wilayah Banyumas. Padahal, Darbe sempat meneriakkan identitasnya pada oknum aparat keamanan yang bersangkutan. Karena tindakan itu, Darbe harus dilarikan ke RS Wijayakusuma Purwokerto untuk divisum. AJI Purwokerto pun mengecam habis-habisan tindakan ini.
Di sini, makin tidak jelas siapa yang dipersilakan berbicara dan siapa yang mustinya melindungi suara. Terjadi timpang tindih pada pelaksanaan profesi di Indonesia. Warga yang juga masuk dalam dua muka pada KEJ ini malah main hakim sendiri. Polisi yang profesinya melindungi malah mendapati posisi kedua pelaku kekerasan pada jurnalis.
Sebagai pejuang pers, jurnalis makin disudutkan ketika kasus-kasus yang menimpanya tidak pernah diusut tuntas dengan serius. Konstitusi tertulis hanya akan jadi bacaan serius untuk Indonesia jika dalam pelaksanaanya terjadi kesemrawutan pada pengambilan porsi. Kemerdakaan yang digembor-gemborkan dengan kebebasan itu malah menjadi suatu kemerdakan yang terikat. Di mana kasus-kasunya diikat hanya sebatas laporan yang tak pernah diuraikan melalui tindakan nyata.
Penulis: Umi Uswatun Hasanah
Editor: Anggita Aprilia Sari
Illustrasi: Muhamad Hafsin
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?